Tuhan Pun Melucu


PERCIK.ID-  Saya pernah mengajukan pertanyaan sekaligus usul kepada kawan yang saya anggap punya kompetensi soal fiqh. Apa hukumnya melucu ketika khotbah? Boleh tidak? Soalnya, mayoritas pendengar khotbah itu "khusyuk" tertunduk, bahkan sejak sebelum khatib "menyanyikan nina bobo" dari atas mimbar. Kalau pun tidak tidur, para mustami'in itu pasti balapan menguap, lantas mengecap-ngecap. Nah, kalau ada humornya kan suasana bisa jadi segar dan nggak mboseni. 


Mendengar pertanyaan tersebut, kawan saya itu terlihat berpikir. Kemudian menjawab, "Wah, gimana ya. Nggak tahu”. “Mungkin boleh” tambahnya, ragu-ragu. 

Sepekan kemudian. Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada kakak saya yang kiai itu. Jawabannya langsung dan tegas. Tidak boleh. Sambil menyitir dalil-dalil. Saya cuma manggut-manggut pura-pura setuju. 

Beberapa hari setelahnya, sepotong video lewat di beranda Facebook saya. Bapak ketua PBNU, Kiai Said Aqil Siraj bilang kalau makruh hukumnya bikin orang tertawa dalam khotbah, tidak cuma bikin tertawa, bikin orang menangis atau emosi pun tidak boleh. Khutbah itu wasiat takwa, titik. Tegas beliau. 

Mohamad Sobary ternyata pernah punya kegelisahan yang mirip dengan saya. Ia menceritakan itu di esainya yang berjudul "Tuhan Tersenyum" bahwa dulu di tahun 1978, seorang khatib melucu di Masjid UI Rawamangun. Jamaah yang tadinya sudah liyep-liyep jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan khatib sambil senyum. Tapi ternyata khatib ini tak hanya hasilkan senyum. Jum'at berikutnya ia diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jum'at berikutnya. 

“Mimbar khutbah bukan tempat melucu!” 

Sobary juga bercerita bahwa dia menyukai sufisme. Sebab di sana, Tuhan  digambarkan serba ramah,  bukannya melulu galak dan suka marah sebagaimana sebagian kita membayangkannya. 

Langit selebar itu tanpa tiang, bulan bergelayut tanpa centelan dan aman, apa bukan "khotbah" maha jenaka dari Tuhan? Tutur Sobary. 

Kita memang butuh norma. Tapi kita juga butuh kelonggaran. Sebab, sekarang tidur-tiduran di masjid (apalagi tidur beneran) sudah terlarang di hampir semua masjid. Seolah-olah ibadah itu cuma sembayang, mengaji dan wiridan. Leyeh-leyeh selepas mencari nafkah untuk keluarga tidak dianggap ibadah. Padahal umumnya, duit buat bangun masjid itu hasil "ngemis" di jalan-jalan. Giliran sang dermawan hendak sendenan sejenak melepas lelah sambil terkantuk, para marbot masjid itu dengan gesit mengingatkan, “Maaf, pak. Dilarang tidur di masjid!” 

Dalam sufisme. Kita akan menemukan banyak "khotbah-khotbah" lucu, sebagaimana yang dikatakan Mohamad Sobary. Bahkan, Tuhan pun melucu. 

Seorang kakek tua renta penyembah berhala berdoa. Baru kali inilah dia berdoa. Sebab sebelumnya, sampai usia tuanya, ia beribadah tanpa pamrih kepada berhala sesembahannya. Selepas khusyuk berdoa, ia melirik berhala yang Cuma diam saja. Kecewa berat, ia mengancam. "Kalau kau diam saja dan tak kabulkan doaku. Aku akan berdoa kepada Tuhan bernama Allah itu. Berhala masih diam, dan si kakek melaksanakan ancamanya. Tak berselang lama, Allah kabulkan hajatnya. 

Kemudian masalah timbul. Para malaikat memprotes Allah. 

"Wahai Baginda, mengapa Engkau kabulkan doa kakek itu? Bukankah ia penyembah berhala? Seorang kafir yang nyata?" 

Allah tersenyum lalu berkata, "Betul. Tapi siapa lagi yang akan mengabullan doanya kalau bukan aku? Kalau aku juga diam saja. Apa bedanya aku sama berhala yang disembahnya?" 

Para Malaikat tertunduk sambil membatin, “Betul juga, ya.” 

Semoga para sufi senantisa digembirakan di sorga oleh Allah. Tanpa mereka, dunia garing belaka. 

Syafiq Rahman
Freelence Writer & Pedagang Buku "Makaru Makara"  fb          

1 تعليقات

أحدث أقدم