PERCIK.ID- Kealimannya tak diragukan, seorang ahli hikmah,
mustajab do’anya juga mempunyai banyak karomah. Ia adalah teman Hadhratus Syeikh
KH. Hasyim Asy’ari. Saat Mbah Hasyim mendirikan NU tahun 1926, ia pun ikut
andil dalam oraganisasi tersebut. Bahkan ia duduk sebagai mustasyar bersama
dengan ulama-ulama besar saat itu.
Saat acara-acara muktamar NU, ia sering didaulat
untuk memimpin do’a. Bahkan tatkala para ulama pada saaat itu mengadakan
bahtsul masail lalu menemui jalan buntu dan mentok, mereka akan sowan kepadanya.
Ia adalah Mbah KH. Muhammad Ma’roef pendiri pondok pesantren Kedunglo Kediri.
Mbah Ma’roef lahir di desar Klampok Arum Desa
Badal, Ngadiluwih Kediri pada tahun 1852. Ayah Mbah Ma’roef, Mbah Yai Abdul
Madjid adalah seorang yang sangat dihormati dan ditokohkan di daerahnya. Konon
Mbah Yahi Abdul Madjid ini mempunyai tirakat dengan hanya makan kunir saja.
Kebiasaan tirakat inilah yang kelak menurun kepada Mbah Ma’roef.
Sejak kecil Mbah Ma’roef telah ditinggal wafat
oleh ibunya. Ayahnya dan saudara-saudaranyalah yang merawat Mbah Ma’roef. Tak
lama setelah kematian ibunya, ayahnya pun wafat. Setelah itu Mbah Ma’roef
diasuh oleh Saudara sulungnya, Mbah Nyai Bul Kijah. Dalam asuhan mbaknya yang
ekonominya pas-pasan, pada usia wajib belajar, Mbah Ma’roef hanya belajar
al-Qur’an kepada mbaknya. Nyai Bul Kijah pun konon sering sambat karena
Ma’roef kecil dedelnya minta ampun. Apa yang diajarkan, tak ada yang nyantol
sama sekali. Nyai Bul Kijah pun memerintahkan adiknya itu untuk menjalankan
puasa senin kamis.
Tak lama setelah Ma’roef kecil menjalankan
anjuran mbaknya itu, Ma’roef kecil bermimpi. Seekor ikan emas masuk ke dalam
mulutnya. Sejak saat itu Ma’roef kecil langsung bisa membaca al-Qur’an. Nyai
Bul Kijah ketika diberi tahu oleh adiknya itu pun sempat tidak percaya, tapi
setelah Ma’roef kecil membaca al-Qur’an di depannya sampai khatam, akhirnya
Nyai Bul Kijah pun percaya bahwa adiknya kini benar-benar telah bisa membaca
al-Qur’an.
Ngaji Sambil Tirakat
Setelah mendapatkan pendidikan dari mbaknya, Mbah
Ma’roef melanjutkan studinya ke Cepoko, Nganjuk di bawah asuhan Yai Muh. Mbah
Ma’roef berjalan kaki menuju pesantren ini. Di pesantren inilah Mbah Ma’roef
yang yatim dan miskin itu melewati hari-harinya dengan ‘memprihatinkan’.
Seringkali Mbah Ma’roef hanya makan seminggu
sekali. Tepatnya setiap malam jumat, itupun pemberian orang-orang sekitar
pondok. Pada hari-hari biasa Mbah Ma’roef hanya makan intip (nasi
hangus) yang masih melekat di panci dan tidak dimakan oleh pemiliknya. Atau
memakan buah pace yang tumbuh di sekitar pondok.
Pernah Mbah Ma’roef mengajak saudaranya meminta
dari satu desa ke desan lainnnya untuk biaya mondok dan hidup selama di pondok.
Mbah Ma’roef juga pernah menjadi buruh panjat kelapa dengan upah sebutir kelapa
yang bagus. Merasa iba dengan Mbah Ma’roef pemilik tanah itupun memberi Mbah
Ma’roef tanah agar bisa ditanami untuk menyambung hidup selama mondok.
Setelah tujuh tahun mondok di Cempoko Mbah
Ma’roef yang punya kebiasaan puasa dan munajat ini bermimpi mengajar kitab
fikih di pondok tersebut. Setelah mimpi itu, tiba-tiba
Mbah Ma’roef bisa membaca
kitab kuning yang biasa diajarkan gurunya. Mbah Ma’roef lantas sowan pada Kyai Muh gurunya, melaporkan bahwa
ia mendapat ilmu laduni dan bisa membaca kitab kuning.
Yai Muh
pun mengumumkan bahwa Mbah Ma’roef
akan mengajar kitab menggantikannya. Pengumuman ini pun membuat geger, utamanya
santri senior yang meremehman Mbah Ma’roef. Mereka berprikir bahwa Mbah Ma’roef
mondok belum tamat dan tidak bisa ngaji lha kok disuruh mengajar ngaji.
Hari itu pun tiba, Mbah Ma’roef mengajar kitab.
Beberapa santri yang sudah tidak ikut pengajian, karena tahu yang mengajar
bukan yai Muh melainkan Mbah Ma’roef. Mbah ma’roef tidak peduli
dengan ketidak hadiran para santri senior yang alim-alim, beliau tetap
membuktikan kemampuannya mengajar kitab yang biasa diajarkan oleh Yai Muh
kepada santri-santrinya. Ternyata tak hanya bisa, beliau juga hafal isi kitab
tersebut.
Peristiwa
ini tentu saja menggemparkan seisi pondok. Mbah Ma’roef santri kere yang
semula diremehkan dan dibenci teman-temannya seketika di sanjung dan dihormati.
Bahkan konon, Yai Muh gurunya, akhirnya berbalik berguru pada Mbah Ma’roef.
Sementara itu, beberapa santri yang suka meremehkan Mbah Ma’roef saat itu juga
meninggalkan Pondok Cepoko. (Bersambung)
Selanjutnya: KH. Muhammad Ma’roef; Pewaris Ilmu Kiai Kholil (2)
Referensi:
-Antologi
NU Buku I
-The
Founding Fathers of NU
-Napak
Tilas Masyayikh Buku III
-Majalah
Aham Edisi 34 April 2001
www.percik.id
BalasHapusKH. Muhammad Ma’roef; Ilmu dan Tirakatnya yang Luar Biasa (1) (link)