Cari Uang dengan Wajar


PERCIK.ID- Hari ini, nilai-nilai se-adiluhung apapun, ketika ditatapkan dengan uang, rupanya tetap saja lebih berpotensi untuk kalah dan hancur. Bahkan, kalaupun kita harus realistis akan kebutuhan, jangankan pada keluhuran nilai dan prinsip-prinsip, pada kewajaran saja kita tak bisa mewujudkan. Atas nama keberlangsungan, kita lupakan cara hidup sewajarnya manusia normal.

Sekarang coba bayangkan, bagaimana masuk akalnya, seorang suami yang rela melihat isterinya dibawa jalan oleh lelaki lain? Dengan tenang, dia coba utarakan alasan, “Biar aja, lagi cari uang.”

Saya mencoba netral dalam mencerna cerita tentang suami yang dengan sengaja ‘ngumbar’ isterinya itu. Tapi semakin jauh logika saya molak-malik segala kemungkinan, semakin buntu dan tidak ketemu alasan logis serta manusiawinya. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin?!

Bahkan, dengan segala potensi destruktif yang terjadi pada si isteri, suami ini dengan kesadaran penuh mengantarnya setiap kali akan ‘mencari nafkah’. Meskipun sesekali tergurat wajah sedih kalau ingat isterinya diapa-apakan orang, dengan kemungkinan-kemungkinan tertentu yang begitu menyayat perasaan meskipun hanya dalam bayangan.

Kiranya kita mencoba menghujani si isteri dengan sederet ayat dan hadis, hal itu justru menunjukkan kedangkalan jangkauan pemikiran kita. Sebab saya hampir yakin, semua wanita, tanpa perlu ayat hadis sekalipun, sudah mengerti kalau bertindak demikian adalah kehinaan. Maka pancingan pertaubatan tak selayaknya kita mulai dari sekedar informasi pahala-dosa.

Umumnya perbuatan-perbuatan berbasis lendir seperti di atas tak ubahnya adalah buah dari rentetan panjang dari kebobrokan sistem ekonomi dan sosial. Bahwa dia harus cari uang dengan menjual daging, ya mungkin saja karena baginya tak ada lagi pilihan sumber pendapatan. Kalaupun ada, dia tak pernah bisa menjangkau dengan akal pikirnya karena tak cukup tajam terdidik akal-rasionya.

Akses untuk maju tidak dapat dinikmati semua orang, terlebih parah lagi, pendidikan yang layak dan semestinya juga tak pasti didapatkan. Termasuk, kemungkinan besar, pada sang wanita ini.

Sehingga, menurut sudut pandang saya, menghakimi si isteri sebagai pihak yang salah, apalagi sebagai makhluk hina karena telah berbuat demikian, menjadi kurang relevan. Karena boleh jadi, sebenarnya dia terpaksa melakukan itu semua sebagai jalan keluar terbaik atas segala kebuntuan alasan ‘demi keluarga’.

Bahwa suami itu nggaplek-i, tentu saya setuju sekali. Adakah alasan masuk akal, bagaimana dia bisa menilai apa yang dilakukan isterinya sebagai sesuatu yang normal? Ataukah memang, sudah ada bentuk-bentuk kewajaran baru, dimana batas-batasnya semakin luas dan tak jelas? Dimanakah kecemburuan seorang pria pada pasangannya yang dicumbu orang lain? Ataukah yang wajar itu yang tidak cemburu?

Kalaupun toh ada jawaban masuk akal atas perilaku sosial yang ekstrim ini, barangkali ada baiknya kita menyinggung kembali tanggung jawab laki-laki ketika sudah berani mengambil peran sebagai pemimpin keluarga. Bahwa urusan laki-laki sebagai suami, sejatinya tak hanya berhenti pada bab rejeki dan pemasukan saja, tapi juga keselamatan dari siksa neraka.

Kalaupun tak sanggup berbicara urusan keselamatan akhirat, sekurang-kurangnya tidak membebani isteri dengan beban yang tak wajar, sudahlah cukup. Pada sang suami ini, mungkin kita lebih layak khawatir, bagaimana nasibnya kelak?

Apapun itu, mungkin yang terbaik bagi kita, selain mengambil hikmah atas kenyataan dan pengalaman hidup, kita juga semestinya memberi jalan keluar lain agar berhenti segala kesempatan terjadinya ‘cari uang’ dengan cara-cara seperti itu. Dimanapun itu.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 تعليقات

أحدث أقدم