Aspek Teknis Abdurrahman bin Auf, Menelusuri Peta Core Competencies

PERCIK.ID- Dulu, ketika mendengar kisah Abdurrahman bin Auf berhijrah ke Madinah lantas mengambil alih sentralisasi perdagangan dari kepemilikan Yahudi menjadi milik kaum Muslim dalam kurun waktu singkat, kekaguman saya meledak. Bahkan, saya memposisikan peristiwa itu sebagai bagian dari keajaiban, entah itu sebagai karomah beliau, atau mungkin sebab dawuh Kanjeng Nabi yang sudah pasti sakti’.

Tapi kini saya punya arah pandangan baru yang masuknya tidak melulu melalui pintu metafisis seperti di atas. Sedikit memahami alur bisnis dan pola perdagangan, pemetaan potensi dan karakteristik pelaku usahanya, maka yang dilakukan sahabat Abdurahman bin Auf, dengan segala aksi heroik beliau meninggalkan semua assetnya di Makkah dan memulai yang baru di Madinah dari nol putul lantas sukses dalam kurun waktu yang amat pendek, adalah persoalan yang masuk akal (bagi beliau).

Tapi tolong, jangan buru-buru menuding bahwa ini adalah pandangan sekularistik. Memisahkan agama dengan dunia. Meniadakan faktor barokah dan aqidah pada urusan profan seperti perdagangan dan semacamnya. Tidak, tidak sama sekali demikian. Ini murni peninjauan teknis belaka atas fakta kesuksesan Abdurrahman bin Auf sebagai pedagang moncer yang barangkali perlu juga kita tengok dari sudut pandang normalnya pelaku usaha.

Memandang para manusia mulia itu dari sisi normalnya manusia juga penting dilakukan agar tidak terbawa arus glorifikasi berlebih akan seseorang, yang kita tahu pasti bahwa hakekatnya ia sama-sama makhluk belaka. Bahwa mereka hebat, mereka besar, mereka cemerlang, perlu kita temukan formulasinya, dalam rangka mengambil ibroh dan tidak terjebak dalam kejumudan berpikir dengan menganggap pencapaian itu hanya diperoleh dari laku kesholehan saja.

 

***

Turut hijrah, Abdurahman bin Auf meninggalkan keseluruhan assetnya di Makkah. Setelah dari Habasyah dan tiba di Madinah, ia ditawari saudara anshor-nya untuk mengambil separuh harta dan satu dari dua isterinya. Lantas, cerita berlanjut seperti yang telah umum kita ketahui dengan penolakan masyhurnya: “semoga Alloh berkahi harta dan keluargamu, tunjukkan saja di mana pasar…”

Top markotop. Dulu saya membayangkan bahwa penolakan itu murni laku seorang Muslim dalam menjaga kehormatan dan izzahnya. Tidak mau diberi selama masih mampu berjuang. Sebentuk cerminan kemuliaan bagaimana seorang Muslim menyikapi tawaran dunia yang kelak membawanya juga pada kemuliaan sukses perdagangannya.

Tapi sekarang, saya bisa membayangkan latar belakang penolakan tersebut dari sudut pandang yang lebih realistis. Tanpa menafikan faktor beresnya aqidah beliau, saya melihat sikap itu adalah cerminan dari seseorang yang mutlak mengerti kaliber dirinya.

Sahabat Abdurrahman tahu dia punya kapasitas dalam soal dagang, dan ia hanya membutuhkan arena, atau semacam wadah penyaluran untuk bertarung: mendayagunakan pengetahuan, mentalitas, kejelian menangkap peluang, atau mungkin sekaligus jaringan bisnisnya.

Maka tawaran sebanyak apapun tidak menarik buat Abdurrahman bin Auf. Karena bisa jadi pula, telah beliau estimasi, dengan kemampuannya, ia bisa memperoleh jauh lebih banyak. Dan, memang demikian adanya terjadi hanya dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun assetnya meroket, arus perdangangan Madinah terpusat padanya, meski pada saat yang sama tak lantas berarti semua itu adalah substansi utama kehidupan beliau.

Jadi, saya pikir, yang utama perlu kita telusuri adalah bagaimana metode teknis yang dilakukan Abdurahman untuk membalik arus pasar Bani Qainuqa dari kepemilikan Yahudi berbelok kepada dirinya dan kalangan Muslim. Apa formulasi yang beliau lakukan? Faktor apakah yang membedakan Sahabat Abdurrahman dengan pebisnis hari ini yang jangankan membalik pusat perdagangan, berjuang menyikapi riba saja bingung bukan kepalang?

Asumsi saya, itulah complete package Abdurrahman bin Auf. Meski assetnya ditinggal semua, tapi dia tak kehilangan skill set yang melekat pada dirinya: visioning, cara melihat kesempatan, konsep dan wacana berbisnis, sudut pandang dan pola pikir, pembentukan mekanisme kerjasama, pemahaman akan alur kerja, mentalitas juang untuk mewujudkan visi, dan segala yang sifatnya ‘software’ dalam diri beliau.

Bahwa beliau berhijrah ke Madinah, itu hanya proses peralihan hardware saja. Selama software-nya aman, maka tinggal di-install ulang saja di arena baru. Ia, mudahnya, hanya membutuhkan tempat untuk mengaplikasikan kemampuannya yang secara sempurna ia ketahui harus diapakan, kemanakan, dibagaimanakan. Inilah yang, dalam istilah modern kerap dikatakan sebagai: core competencies.

 

Sesuatu yang perlu kita bongkar lebih dalam lagi nanti.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

إرسال تعليق

أحدث أقدم