Semakin Utuh, Semakin Tiada

PERCIK.ID- Pada setiap diri manusia -juga mungkin semua makhlukNYA yang lain- tertanam potensi ilahiah yang sejatinya adalah cerminan, refleksi, atau resonansi, dari sifat Tuhan itu sendiri. Karena memang, siapapun dan apapun dalam semesta ini, sejatinya, adalah bagian dariNYA.

Umpamanya, spirit yang terbit dari kalimat sederhana namun mendalam; bismillahirohamanirohim, menyiratkan spektrum utama sifat Ilahi yang bisa kita dapati juga dari setiap insan, yakni: cinta dan kasih sayang.

Repotnya, manusia sering mendikotomiskan banyak urusan. Kita, dengan segaka logika modern yang kita bangun, membedakan misalnya, langit dan bumi sebagai dua komponen yang berpisah satu sama lain. Padahal, sebagaimana keseluruhan planet dan bintang gemintang yang merupakan bagian dari langit kosmos semesta, maka bukankah berarti bumi juga bagian dari langit?

Juga soal dunia dan akherat. Kita selalu berpikir dua hal itu ada dalam alam yang berbeda. Akherat terdefinisikan sebagai hari akhir setelah semua perhitungan atas apa yang kita lakukan di dunia saat ini. Namun kiranya kita mengartikan dunia sebagai alam sementara dan akherat adalah alam kekekalan, maka bisa pula kita katakan yang sementara ini tak ubahnya bagian dari keabadiaan. Ya, ndak?

Apalagi sekadar posisi manusia per manusianya. Tak ada lagi celah buat kita untuk meninjau manusia sebagai seutuhnya makhluk. Hari ini, dengan atau tanpa kita sadari, manusia dengan cerdas memecah dirinya menjadi kepingan-kepingan pribadi pada berbagai peran dan posisi: aku profesi, aku hamba, aku sosial, dan seterusnya.

Tentu saja itu bagus dalam rangka manajemen diri sekaligus ketepatan peran fungsi yang berubah-ubah setiap waktunya. Hanya, tetap saja, diatas segala peran itu semua, harus disadari bahwa kita ini manusia yang harus lengkap dan utuh, tidak boleh hanya berdiri sebagai satu atau dua keping bagian saja.

Celakanya, pola pikir pembeda-bedaan, pemisahan, atau dikotomisasi juga juga kita terapkan dalam hubungan interaksi  dengan Tuhan.

Bahwa seringkali kita bertindak, bersikap, dan berpikir pada banyak urusan dalam hidup dengan dasar pengabdian pada Tuhan, tentu itu sangat baik. Segala kebajikan kita lakukan demi membuatNYA ridho dan segala larangan kita tinggalkan agar tak menuai murkaNYA adalah juga kemuliaan.

Tuhan adalah pihak lain yang harus kita sembah, layani, dan patuhi. Tuhan, dengan demikian, menjadi pihak kedua dalam kesadaran pengabdian kita. Dia ada di luar diri kita yang posisinya berjarak dengan kehambaan manusianya. Dan, tak ada masalah dengan soal ini.

Hanya sebenarnya ada derajat lain yang kiranya bisa kita sadari, bahwa seperti halnya sifat-sifatNYA yang tertanam pada setiap manusia, kita juga bisa menempatkan Tuhan sebagai pihak yang tak jauh-jauh amat. Bahkan kita tempatkan Tuhan sebagai pihak yang berkuasa pada akan segala.

Jika kita bisa beribadah, kita sadari sebab Tuhanlah yang mengilhamkan dan memberi kesempatan. Jika kita berbuat baik, itu juga tak lepas dari kuasaNYA pada diri kita untuk melakukan kebaikan. Demikian juga pada soal-soal teknis apapun dalam gerak langkah kehidupan kita.

Sehingga pada titik kesadaran ini, pengabdian manusia tak lagi dalam posisi Tuhan sebagai pihak diluar dirinya. Jika ia melihat, dia sadar itu adalah penglihatan Tuhan. Dia berpikir, maka itu adalah ilham Tuhan. Dia melangkah, maka itu adalah tuntunanNYA. Tuhan ada dalam dekat, bahkan mengalir dalam darah.

Ini berarti, Tuhan adalah kontributor utama dalam setiap pikiran, pilihan sikap, dan gerakan si manusia hamba. Dia adalah prioritas, karena toh memang semuanya dariNYA dan berujung pula padaNYA.

Lalu kita sebagai manusia pelakunya kemana?

Pada kesadaran inti ini, manusia tak lagi penting untuk ada. Karena bagian apalagi yang bisa di-claim sebagai milik kita? 

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

إرسال تعليق

أحدث أقدم