PERCIK.ID- Al-qur’an menyebutnya dengan wâdin ghoiri
dzi zar’in. Tempat tandus, kering dan tidak ada tumbuhan apapun di sana.
Namun di sanalah perempuan dan bayinya itu akan ditempatkan. Baru saja
kebahagiaan itu ia rasakan. Kelahiran putra pertamanya. Putra yang memecah
kesunyian keluarga Nabi Ibrohim, di mana sekian lama menanti, Nabi Ibrohim dan
istrinya Sarah, tak juga beroleh momongan.
Kerelaan Sarah itu
pun goyah. Sarah yang dulu dengan tulus ikhlas meminta Nabi Ibrohim untuk
memperistri Hajar, kini keikhlasan itu mendapatkan ujian berat. Fitrah naluri
keperempuanannya muncul. Sarah resah memikirkan dirinya sendiri yang meskipun
telah berpuluh-puluh tahun menjadi istri Nabi Ibrohim, tapi tak juga melahirkan
keturunan bagi suaminya.
Sementara Hajar
yang baru beberapa tahun saja, kini bisa melahirkan keturunan untuk Nabi
Ibrohim. Rasa cemburu pun membuncah. Kekhawatiran bahwa kasih sayang Nabi
Ibrohim akan berpindah ke Hajar dan putranya menyeruak. Hingga kalimat itu
muncul bak gelegar halilintar,
“Suamiku, aku tak
bisa hidup lagi bersama Hajar di satu tempat.”
Sesuai petunjuk
Alloh, tempat ‘pengasingan’ untuk Hajar dan Ismail adalah lembah tandus yang
tidak bertetumbuhan (wâdin ghoiri dzi zar’in) yang dikenal dengan lembah
Bakkah. Betapa berat ujian Nabi Ibrohim, anak lelaki yang berpuluh-pluh tahun
ia nantikan. Setelah jantung hati itu lahir, kini harus diasingkan di sebuah
lembah gersang yang kering kerontang. Dikuatkan hatinya, bahwa ini adalah
perintah Alloh. Pasti ada hikmah di dalamnya.
Berangkatlah Nabi
Ibrohim bersama Hajar dan putranya. Perjalanan jauh, sukar dan melelahkan
mereka laluli hingga tibalah di tempat terpencil dan gersang itu. Di tempat
yang ‘mengerikan’ itu, siapa yang bisa menjamin keselamatan dan kelestarian
hidup Hajar dan anaknya selain Alloh?
Tanpa menoleh
sedikitpun Ibrohim bergegas meninggalkan Hajar dan putranya yang masih bayi itu
di tanah gersang tak berpenghuni. Mata Nabi Ibrohim menggenang, ia tidak berani
menoleh ke wajah istrinya. Ketika Hajar mencoba bertanya hendak kemana, Nabi
Ibrohim tidak menjawab.
“Apakah engkau tega meninggalkan kami berdua?” desak ibunda Hajar. Tetapi tak sedikitpun Nabi Ibrohim menyurutkan langkah. Tak sepatah katapun keluar, Nabi Ibrohim tetap tak berani menoleh guna memandang sekilas wajah sendu sang istri.
Namun saat Ibunda Hajar bertanya apakah semua ini adalah perintah Alloh, barulah Nabi Ibrohim berucap, “Ya, ini adalah perintah Alloh.” Keyakinan Nabi Ibrohim telah membaja terhadap segala perintah Alloh, meskipun sebagai manusia ia tetap menaruh perasaan iba melihat istri dan anaknya itu sendirian di tempat yang tandus dan gersang itu.
Dan subhanalloh,
ternyata Hajar juga tak kalah kuat keyakinannya. Setelah tahu apa yang dilakukan
suaminya adalah perintah Alloh, Hajar merasa lega. Dia pun berkata kepada
suaminya dengan penuh keyakinan, “Jika demikian ini adalah perintah Alloh,
biarkan kami di sini saja. Insya Alloh saya bisa menjaga diri dan menjaga
anakmu. Kami yakin jika ini perintah Alloh, pastilah Alloh akan memelihara dan
melindungi kita semua. Selamat jalan.”
Keyakinan Hajar
bukan keyakinan fatalistik. Bukan juga keyakinan rendahan. Justru keyakinan
itulah yang menguatkan Hajar dalam ikhtiarnya. Dia tidak menanti hujan emas
turun dari langit. Tidak menunggu rezeki nomplok yang datang tiba-tiba. Dia
yakin dengan ikhtiar/usaha sekuat tenaganya, Alloh akan menolong dan memenuhi
kebutuhannya.
Maka, tatkala air
teteknya tak lagi mengeluarkan susu buat anaknya, dia mulai berpikir keras
untuk mencari penggantinya. Dia pun tidak menyia-nyiakan waktu untuk segera
berikhtiar, agar bisa secepatnya mendapatkan air, dia harus lari dan lari.
Ketika dari
kejauhan tampak di matanya genangan air dengan cepat ia menerjang panasnya padang
pasir untuk menghampiri genangan itu. Namun saat sampai di lokasi dalam
penglihatannya ternyata tak ada genangan air yang dicari, yang ada hanya
bentangan padang pasir gersang yang panasnya begitu menyengat. Begitu terus ia
mondar-mandir berlari dari bukit shafa dan marwah, untuk menemukan air.
Ajaib, setelah
ikhtiar yang dilakukan, usaha tiada lelah sampai titik batas kemampuan Ibunda
Hajar. Matanya menggenang melihat dan mendengar tangis putranya karena
kehausan. Alloh meneteskan belas kasihNYA. Air yang dicari itu tidak Ibunda
Hajar dapatkan pada tempat yang cari dengan lari ke sana kemari. Justru tanah
di bawah kaki putranyalah muncul air tersebut. Semakin dikeduk semakin basah.
Semakin dalam semakin basah. Subhanalloh, di sana ternyata ada
sumber air yang tidak pernah kering. Ia adalah air zam-zam air kehidupan yang
diberkahi.
Mengagumkan
perjuangan perempuan hebat itu. Itulah peristiwa menakjubkan yang kemudian
diabadikan oleh Alloh dalam rangkaian ibadah haji. Persoalannya bukan hanya
sekedar mencari air, namun pada perjuangan seorang ibu, perempuan hebat yang
gigih, tak kenal lelah, tidak putus asa dan kuatnya tawakkal ibunda Nabi Ismail
itu kepada Alloh.
PERCIK.ID
BalasHapusPerempuan Kuat Itu Bernama Hajar
https://www.percik.id/2019/08/perempuan-kuat-itu-bernama-hajar.html