Baiknya Para Politisi Mulai Belajar Kitab Fikih

PERCIK.ID- Para politisi agaknya memang pantas menyandang gelar sebagai guru teladan dalam soal ilmu eyel-eyelan, ngotot-ngototan, dan debat tanpa etika. Mereka, atau sebagian darinya, terutama ketika tampil di televisi dan terlibat dialog antar muka. Mereka tanpa segan memotong ucapan orang lain, menghardik, hingga mencaci secara verbal lawan bicara, tak perduli kalau itu adalah orang lebih tua yang patut ia hormati.


Para politisi itu, sekalipun demikian, tidak lantas bisa kita sebut sebagai orang-orang yang tidak berpendidikan, atau telah tidak memperoleh akses pendidikan yang layak. Karena nyatanya, mereka pada umumnya malah berasal dari keluarga yang serba berkecukupan. Para politisi juga orang orang top lulusan universitas-universitas ternama. Artinya, dari aspek ini memang tidak ada masalah. Lalu apa soalnya? Entahlah. Tidak menarik juga mencari tahu sebab musabab perangai buruk para politisi.

Tetapi dengan karakter demikian, kita bisa menarik satu kesimpulan sederhana. Bahwa mereka nampaknya memang tidak pernah belajar kitab fikih.

Lho kok bisa? Apa ada hubungannya? Ya, dan jelas ada hubungannya.

Karena siapapun yang mengkaji kitab-kitab fikih, sebetulnya sedang memraktikan adagium “Sekali dayung dua pulau terlampaui”. Dengan satu usaha, dua hasil di dapat sekaligus. Kitab fikih membuka peluang bagi pengkajinya untuk mampu melakukan itu.

Orang yang mengkaji kitab fikih, di satu sisi akan memperoleh pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hukum. Hal-hal mengenai tata cara dan prosedur ritual peribadatan, masuk dalam kajian pembahasan kitab-kitab fikih. Tapi selain itu, ia (secara otomatis) juga akan belajar tentang hal lain. Yaitu kebesaran hati menerima perbedaan pandangan.

Fikih meniscayakan perbedaan pendapat. Kalau kita baca pembahasan kitabnya, dalam satu kasus saja, akan kita temukan beragam pendapat dan pandangan yang berbeda dari para ulama’.

Para imam peletak madzahibil arba’ah yang sebenarnya memiliki hubungan guru-murid, juga berbeda-beda dalam menerapkan prinsip ijtihadnya. Semisal Imam Malik, yang lebih mengutamakan hadis sebagai pijakan, sekalipun itu adalah hadis ahad. Maklum, beliau tinggal di kota Madinah, pada masa di mana masih banyak dijumpai sahabat Nabi. Sehingga beliau punya ‘akses’ yang mudah menerima riwayat-riwayat hadis itu. Sementara di Kufah, tempat tinggal Imam Abu Hanifah yang jauh dari Madinah, sangat jarang sekali dijumpai sahabat Nabi. Sehingga Imam Abu Hanifah kemudian banyak menggunakan ro’yunya (pertimbangan nalar). Oleh sebab itu, pada masa berikutnya lalu muncul istilah Ahlul Hadis untuk kalangan Imam Malik, dan Ahlur Ro’yi untuk kalangan Imam Hanafi.

Tapi di tengah perbedaan itu, keduanya tetap menaruh hormat satu sama lain. Ketika Imam Malik ditanya tentang Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan, “Ya, aku melihat seorang lelaki yang kalau Anda memintanya untuk menjelaskan bahwa tiang kayu ini adalah emas, niscaya ia mampu menegakkan alasan-alasannya.”  

Di lain kesempatan, Imam Hanafi juga menyatakan kekagumannya dengan Imam Malik. Kata Beliau, “Wallohi, saya belum pernah melihat orang yang bisa memberikan jawaban yang benar dan zuhud serta sempurna melebihi Imam Malik.” Betapa elok kepribadian kedua imam ini.

Selisih pendapat rupanya bukan hanya terjadi dalam madzhab berbeda. Kitab-kitab fikih standart merekam bagaimana dalam madzhab yang sama pun juga kerap terjadi silang pemikiran. Kitab Bughyatul Mustarsyidin-nya Syaikh Abdurrohman Ba’alawi misalnya, mencatat bagaimana Imam Nawawi, murid Imam Syafi’i “menganulir” 15 qoul jadid gurunya itu. *(cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah, halaman 14). Luar biasa.

Fikih memang sangat dinamis dan mengandung beragam kemungkinan. Istilahnya, “fil mas’alah, masaa’il”. (Dalam satu masalah, ada banyak persoalan). Para ulama’ berbeda-beda pandang, namun tetap tidak meninggalkan adab dan etika yang luhur. Mereka masing-masing tahu bahwa memang ada saat dimana mereka harus berposisi ‘sepakat dalam ketidaksepakatan”. Dan berbeda bukan berarti bermusuhan.

Dari sini, paling tidak kita bisa mengukur diri kita masing-masing. Mana di antara kedua perangai itu yang lebih klop dengan kepribadian kita. Apakah bakat kita adalah menjadi politisi, atau menjadi ulama’, atau politisi yang ulama’, atau ulama’ yang politisi?


Yang terakhir ini agaknya lebih baik dihindari. Ada ungkapan plesetan dari para netizen penonton film joker yang sungguh tidak mengenakkan, tapi sepertinya tidak salah juga. Katanya, “Orang  jahat adalah orang pondokan yang jadi politisi.”

Deni Nashrulloh
Pemimpin Redaksi Bulletin Lembar Jum'at "al-Fath"  fb
Tulisan yang Lain

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama