NgayogJoss

PERCIK.ID- Jogja tak pernah gagal membuat saya bahagia. Entah ada saja caranya, dengan mudahnya saya dibuat jatuh cinta. Berkali-kali, berulang-ulang. Bahkan mungkin, setiap kali kembali ke kampung halaman itu, cinta saya semakin bertambah berlipat-lipat.


Sampean boleh mengatakan saya lebay atau berlebihan. Tapi memang begitu perasaan saya. Belum ada kota yang menyaingi damainya Jogja. Coba sebutkan mana kota masyhur dan terkenal yang bisa menyaingi indahnya Jogja.

Bali? Lombok? Malang? Bagus memang, tapi tetap saja Jogja terlalu jauh di depan semuanya.

Sebutkan juga tempat moncer di luar negeri: Singapore? Kuala Lumpur? Dubai? Ah, biasa saja.

Jakarta? Tolong jangan sebutkan yang terakhir ini. Prek! Beberapa hari lalu saja, saya terjebak macet di tol Cikampek-Jakarta selama 10 jam. Perjalanan sejauh 50 kilometer itu, sekali lagi, saya tempuh dalam waktu 10 jam!

Tentu ini pendapat pribadi saja. Atau mungkin boleh jadi ini primordialisme berlebih seperti layaknya saya selalu mengatakan ‘pulang’ ketika menuju ke Jogja, dan selalu memberi label ‘berangkat’ ketika pergi meninggalkannya. Bisa jadi, perasaan sama juga njenengan rasakan ketika kembali ke kampung halaman. Merasakan kembali hawa-hawa yang berbeda dengan keseharian kita, bertemu kembali sahabat lama yang kini mulai menua, bahkan mungkin sekedar melihat sudut-sudut yang penuh kenangan masa kecil.

Sudut-sudut kenangan lama tersebut tetap bertahan awet sekalipun kota ini bertransformasi mengikuti perubahan zaman. Semisal angkringan, atau rombong tempat ngopi, jagongan, dan makan sego kucing, tetap bisa ditemui dimana-mana. Keberadaaannya tidak tergusur sekalipun hari ini merebak warung kopi gaul yang juga tak kalah peminat. Jogja dapat menyikapi perubahan zaman dengan meletakkan kemajuan pada ruang-ruang yang tepat.

Kota ini semakin membuktikan keistimewanya jika kita mau menilik lebih jauh pada bab seni dan budayanya. Sudah pada dasarnya menjadi rumah seniman semenjak dulu, kini penghargaan dan perhatian pada seni-budaya semakin ditambah. Pemerintah Jogja memberikan apresiasi lebih pada kegiatan yang berkait dengan seni-seni tradisional, seperti misalkan tarian, karawitan, juga barang-barang adat seperti keris, blangkon, surjan dan seterusnya. Penggunaannya diwajibkan dalam kegiatan kantor dan sekolah setiap Kamis pahing misalnya. Jangankan kantor dan sekolah, pedagang di pasar pun ikut surjanan. Memang secara teknis hal demikian diatur dalam Pergub, namun pelaksanaan tanpa paksaan hingga sampai wilayah pasar, menunjukkan kepatuhan dan komitmen yang melebihi sekedar taat aturan.

Lebih dari pada sekedar barang-barang materiil, ikhtiar untuk nguri-uri khasanah lokal ditempuh sampai tataran ‘budaya non benda’. Kegiatan-kegiatan adat, seperti misalkan merti desa, dilombakan dalam bentuk film dokumenter oleh siswa SMA. Ini ‘kan jitu sekali untuk media pembelajaran yang otomatis memperkaya wawasan budaya generasi muda.

Perhatian pada kebudayaan dan khasanah lokal tersebut yang rasanya menjadikan jogja istimewa dan akan selalu istimewa. Atau setidak-tidaknya, membedakan dengan kota-kota lainnya. Menempatkan budaya bersama dengan perkembangan jaman memang tugas kita semua. Bahkan mungkin, sejatinya kita harus bisa mengombinasikan kearifan budaya dalam setiap bentuk perkembangan zaman.


Menurut pendapat dari seorang teman yang kini menjadi konsultan di salah satu firma ternama, masa depan ada di tengah-tengah. Tidak bisa serta-merta tenggelam dalam kemajuan, namun juga tidak terlalu terikat pada pakem-pakem konservatif. Jika ingin langgeng dan terus maju, justru kombinasi kearifan tradisional harus bisa menyatu dengan kemajuan zaman. Dalam hal ini, sudah semestinya kita bercermin pada Jogjakarta.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama