Berangkat untuk Pulang

PERCIK.ID- Sandal, ia mungkin tak tergubris. Seberapapun harganya dan setenar apapun merknya, letaknya tetap di kaki. Pun, ia menjadi terendahkan saat kegiatan yang katanya formal digelar. Ia pun terpaksa membawa kaki-kaki keluar ketika pemakainya melihat tulisan “Area atasan berkerah dan bersepatu.” Tertolaklah langkah-langkah manusia yang ingin bermu’amalah hanya sekedar bersandal. Bahkan walau terkadang ada sebagian yang memaklumi sandal untuk turut bersaksi atas tuannya bersosial, tetaplah sandal jepit tak diperkenankan. Kendatipun terbeli di pusat perbelanjaan tersohor. Sandal jepit selalu identik dengan sandal WC, begitu katanya.


Jikalau ada fit and proper test untuk sandal jepit mungkin manusia yang meloloskannya hanya kaum sarungan yang identik dengan pesantren, masjid, atau musholla. Tak tergubrisnya kali ini bukan karena necisnya sandal, tetapi untuk melangkah ke dalam rumah ibadah tak perlu turut membersamai tuannya. Ia tergeletak di pelataran, tidak untuk terjepit di antara jempol dan telunjuk kaki.

Akan tetapi, tidak semua masjid, musholla, dan pondok memiliki tradisi merapikan sandal di depan serambinya. Menelapakkan dengan posisi siap pakai sang empunya selepas berkegiatan di dalamnya. Sandal-sandal justru kesana-kemari tak elok dipandang. Jargon “Allohu jamil yuhibbul jamal” seperti terlupakan. Padahal merapikan sandal ialah hal kecil yang ternyata berdampak luas. Sederhana namun enggan terlaksana, padahal tidak butuh 30 detik untuk sekedar membaliknya.

Pakulinan merapikan sandal yang sederhana namun tak jua terlaksana seringkali menjadi boomerang yang begitu mengena. Islam menjadi tersudut karena meletakkan sandal saja semrawut. Padahal Sang babul ‘ilm, Sahabat ‘Ali ibnu Abu Tholib dawuh, “Kebaikan yang tak rapi organisasinya akan terkalahkan oleh kebatilan yang sungguh jelita nan rapi organisasinya.” Kalimat ini sepertinya semakin tenggelam digerus menuanya usia bumi. Sederhana, sederhana sekali untuk merapikan sandal jika setiap tamuNYA mau mengamalkan dengan tangannya sendiri.

Sebuah pelajaran lain dari sepasang sandal yang siap untuk dikenakan sepulang masjid, mungkin bisa tercuplik dari do’a bangun tidur. Alhamdulillâhilladzî, seluruh pujian terpantas hanya untuk Alloh, ahyâna ba’da mâ amâtanâ, yang menghidupkanku kembali sebakda mematikanku, wa ilaihin-nusyûr, dan kepada Allohlah akan berpulang.

Mengapa?

Ketika seseorang tidur lalu terbuat bangun, sejatinya tidur dan bangun kita teruntuk siapa? Tertujukan untuk apa? Jika kita lupa berdo’a ketika bangkit dari lelapnya nikmat tidur, semoga sekedar hamdalah sebelum Subuh tak terlewat. Kemudian, padatnya aktivitas sehari tak ubahnya menanti waktu istirahat sebakdanya. Lalu, bagaimana jika diri lupa atas kuasa siapa kita menyibukkan diri sampai tertidur kembali?

Sandal pun demikian, ia terberangkatkan ke masjid, surau, majelis ilmu, atau pesantren atas kuasa tuannya. Tertatarapikan oleh tuannya yang berendah hati, sebab sang tuan memahami sandal sebagai kendaraan yang kelak akan memberi persaksian. Berangkatnya sang tuan ke masjid karena ia menyadari bahwa ia akan kembali pada tuannya, Alloh swt. Maka, ia pun memperlakukan tunggangannya untuk menjadi pengantar yang elok dan siap memberikan keterangan yang memberatkan laku amal maupun jariyah baiknya. Jika boleh berangan-angan, mungkin sandal yang tertatarapikan lagi apik lebih berceria daripada yang tergeletak seadanya, daripada yang tercerai antara sisi kanan dan kirinya karena ulah manusia yang tidak ringkas.

Sandal yang rapi dan sudah siap digunakan sepulang masjid akan jauh terlihat anggun dari kejauhan, terlebih terdekati. Bagaimanapun modelnya, berapapun harganya, apapun merknya. Sementara, yang amburadul lagi semrawut tentu akan tidak elok.

Hidup pun demikian, bangun tidur dan sibuknya kita dengan segala profesi, kegiatan, dan transaksi untuk tertuju pada Alloh merupakan sandal kita yang seusainya akan mengantarkan pulang ke rumah dan keluarga kita untuk beristirahat dan bercengkerama.


Kita berangkat dengan sandal, merapikannya lalu siap untuk “pulang” dengan nyaman. Akhiron, kita sejatinya hanya berangkat untuk pulang, wa ilaihin-nusyûr.

Pandu T. Amukti
Santri yang nDokter Hewan

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama