Syaikh Hasan al-Bashri dan Sembelihannya

PERCIK.ID- Si fulan mengaku bahwa ia adalah murid Syaikh Abdullah. Begitupun si fulan yang bertempat tinggal sedikit lebih jauh dari kediaman Syaikh mendeklarasikan bahwa ia lebih murid dibanding si fulan yang pertama. Ada pula yang dengan bangga menyatakan diri bahwa ia murid kesayangan Syaikh Abdullah, padahal baru ikut mengaji satu tahun. Tidak ketinggalan juga si fulan satu ini mengumumkan bahwa ia adalah murid terdekat sang Syaikh.


Majelis ilmu di padepokan Syaikh Abdullah memang tak pernah sepi wajar jika setiap orang ingin diakui sebagai muridnya. Bagaimana tidak, sang Syaikh merupakan ilmuwan tersohor di negeri itu. Bermuwahajah dengannya selepas waktu mengaji pun harus mengantre. Berkesempatan bertatap muka untuk sekedar berdialog atau diskusi ringan selama setengah jam saja sudah istimewa. Ada kebanggaan tersendiri bisa disapa dan ditanya kabar oleh Syaikh Abdullah.
*****

Ada sebuah kisah menarik yang perlu ditilik. Bukan legenda melainkan fakta yang termaktub dalam kitab ‘ulama’ terdahulu. Halaman cerita yang merangkum tentang guru dan murid. Hatta, ada seorang imam tabi’in terkemuka yang besar di Bashroh karena ketampanan, kegagahan, keberanian dan tafaqquh dinnya.
Ialah al-Hasan al-Bashri yang terlahir di dua tahun terakhir masa kekhalifahan ‘Umar ibn Khoththob. Seorang imam yang sudah melegenda sejak muda. Merantau ke tanah Bashroh sehingga kata al Bashri mengikuti nama depannya.

Sekian banyak kisahnya ada untaian nasihat yang berceceran menjadi mutiara. Alkisah, pengajian Syaikh Hasan al-Bashri yang termashyur memiliki ratusan hingga ribuan jamaah. Menjadi bangga yang mengikuti dan menyimak tausiah sang imam.

Suatu siang pengajian dilaksanakan tidak di tempat biasanya. Sedikit minggir, agak jauh dari pemukiman yang biasanya juga turut mendengarkan. Sang guru mengajak seluruh muridnya ke tepian bukit. Panas terik tak menyulutkan mereka yang mengaku didikan sang guru. Mengikuti langkah imam yang menderap. Lereng bukit yang terlihat lebih tinggi dibanding dataran sekitar ternyata sudah terpasang tenda. Tenda yang sudah imam persiapkan entah untuk apa.

Pengajian siang lereng bukit ini mungkin buah perenungan atas kegalauan Hasan al-Bashri r.hu. yang bermurid banyak. Ia tak tenang atas tersohornya diri sebagai faqih. Ada ide cemerlang dari orang yang sering basah janggutnya karena air mata yang menetes saat menilawahkan ayat Qur’an ini. Mulanya ia berpidato seperti biasa. Menasihatkan jamaah untuk mengingat akhirat dengan baik. Mereka menyimak baik-baik dan mengangguk paham.

Sedikit meninggi namun tetap santun, ia orasikan pada banyaknya jamaah di pelataran bukit itu, “Wahai jamaahku, kalian adalah muridku!” tegasnya membuat kebanyakan tersenyum terakui, “maka aku minta ketulusan kalian untuk berpatuh agar berkenan aku sembelih leher kalian siang ini,” pintanya dalam berpidato.

Terdiam. Hanya terdengar hembusan angin lembah yang bercampur debu. Wajah yang tadinya menyunggingkan senyum tetiba muram dan mengernyit. Saling menatap dan berbisik penasaran apa maksudnya ini. Di tengah heningnya majelis, ada seorang yang menegak takdzim, ia bersedia untuk disembelih. Digandengnya ramah tangan lelaki itu masuk ke sebuah tenda tertutup yang telah tersedia. Jamaah lain menanti apa yang terjadi sebakda laki-laki dan sang imam menghilang di balik tenda.

Darah segar memerah mengalir dari balik tenda yang membuat jamaah bercampur aduk. Ada yang meringis, sebagian lainnya beristighfar, tak luput mereka yang marah bersumpah serapah juga ada, dan tak kelewatan pula ada yang merasa salah memilih panutan.
“Ada lagi yang ingin aku sembelih sebagai rasa patuh murid pada guru?” tanyanya tersenyum dengan belati yang masih bersimbah darah. Tercengang tak menduga. Bisa-bisanya sang guru malah beraut bahagia setelah memotong leher.

Seorang lagi berdiri, sami’na wa atho’na mungkin begitu yang diucapkan lelaki ini pada sang imam. Mirip dengan sebelumnya, dirangkulnya lelaki yang mengaku murid itu ke tenda. Cuuuurrrrrr…. Merah mengerikan memancar.

Dari ratusan bahkan ribuan yang khusyuk mengaji tadi hanya tiga kepala yang menerima tawaran Syaikh Hasan al-Bashri. Sisanya mungkin berpikir: Nabi Ibrohim as. saja yang jelas-jelas terwahyukan melalui Jibril hanya menyembelih satu dan itu putranya. Ini bukan nabi tapi lancang mentasbihkan diri berkehendak ala bapak para nabi.

Ada rahasia di balik tenda, Syaikh ternyata tidak menyembelih ketiga muridnya. Darah merah yang mengalir itu adalah darah domba yang tersembelih dihijab kain tenda. Inilah simpul atas gundah-gulananya menceramah di hadapan ratusan kepala yang mengaku muridnya. Ternyata hanya tiga yang sejati.


Terlalu sering orang membawa nama-nama yang diakui sebagai guru pembimbing ruhani, tapi ternyata yang dibawa namanya kemana-mana hanya sebatas untuk kepentingannya saja. Dan barangkali, sebagian dari mereka yang demikian, adalah kita. Naudzubillah min dzalik.

Pandu T. Amukti
Santri yang nDokter Hewan. 

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama