Memanusiakan Manusia


Kita tuan pada masing-masing keinginan-keinginan
Kita tuan pada masing-masing kebohongan-kebohongan
Kita tuan pada masing-masing keputusan-keputusan
Kita tuan pada masing-masing kehilanggan-kehilangan
Air mata kenapa kau harus menangis
Air mata kenapa kau harus menangis
PERCIK.ID- Dalam sebuah lirik lagu Obituari Air Mata yang dibawakan oleh Sisir tanah asal Bantul ini cukup mewakili seruan kisah manusia dalam kehidupan. Saat itu saya memang diberi tahu oleh teman saya, ketika saya mendengarkan lagu ini sepintas yang terbayang adalah para pedagang pasar yang setiap harinya menyusuri jalanan pasar, para pengamen yang menanti kehadiran transportasi umum di pemberhentian lampu merah, para pejabat, para pekerja kantoran, atau para pelajar  yang memadati jalanan kota dengan segala aktivitasnya.

Dengan tertatih bapak-bapak paruh baya yang tunanetra berjalan di bibir pasar. Ia berjalan dengan tongkatnya sambil mendekap sound kecil dan uang receh. Lantunan musik Didi Kempot ia senandungkan dengan merdu, meskipun suaranya harus beradu dengan pedagang lainnya. Sedangkan sebagian pedagang keliling melajukan jalannya dengan cepat, sesekali berhenti karena terpaksa harus berdesakan dengan penghuni pasar lainnya. 

“opo aku salah naliko urip sak omah...”
 “Tiwul-tiwul”
“Rembulan seng ngilo ono segoro...”
“Mantol plastik, mantol plastik, pak, bu! mantol plastik”
“Padangono ati kulo”

Ketika kita sedang naik kendaraan umum, atau menelusuri setiap jalanan pasar dan tempat-tempat lainnya, saat itu kita merasa ikut senang atau bahkan bercampur perasaan sedih. Hanya dengan sebuah sound kecil seorang tunanetra bisa melanjutkan hidupnya. Atau hanya dengan selembar kain yang mewadahi jualan, para pedagang dapat memenuhi kebutuhannya. Hal itu bahkan jauh lebih baik dari pada orang-orang yang bergerak mengatas namakan agama dan memanipulasinya dalam urusan politik dan ekonomi.

Kita tidak pernah mengerti apa ukuran kebahagiaan tiap-tiap manusia. Untuk mencapai kebahagiaan diri kita sendiri saja kita sering kebingungan untuk menempuhnya. Kehidupan ini memang seperti apa yang telah dipaparkan dalam lirik lagu Obituari Air Mata. Setiap manusia akan bertuan kepada keinginan-keinginan, pada kebohongan, pada sebuah keputusan dan akan merasakan sebuah arti kehilangan.

Berbicara kehidupan, berarti mengujarkan tentang sesuatu yang sangat dekat dengan kita, mengenai ada dan tidaknya peran Tuhan. Kita sendiri barangkali belum pernah, atau bahkan tidak akan pernah kita temukan dalam kehidupan. Jangankan kita temukan, hadirkannya Tuhan dalam nurani kita saja, kita sering terlalu sesak oleh tetek-bengeknya dunia. Apalagi mempertemukan nurani dengan Tuhan.

Kita sering terlalu sibuk ke sana kemari hanya untuk mencari kesalahan orang lain dan kerap memaksa keadaan harus sesuai dengan hasrat binatang kita. Bagaimana kita akan dipertemukan dengan Tuhan jika ibadah kita hanya sebatas gerak lahiriah. Bagaimana nurani kita dapat menyatu dengan kehadiran Tuhan, jika orang-orang miskin kita pelihara dengan kesombongan dan kerakusan. Bagaimana kita bisa merasakan nikmat Tuhan jika urusan adil dan tidaknya Tuhan saja masih sering kita ungkit. Konteks melupakan Tuhan memang sering terjadi pada diri kita. Namun, jika diri kita yang dilupakan oleh Tuhan, punya hak apa kita atas dunia ini?

Jika direnungkan sesungguhnya keberadaan Tuhan sangatlah dekat dengan hambaNYA. Sayangnya, sering kali manusia menjamah kekuasaan yang dimiliki oleh Tuhan dan merasa bahwa dirinya lebih mulia dari pada mahkluk lain. Sehingga tidak pernah merasa bahwa kehadiran Tuhan ada di setiap sudut lingkaran manusia.

Adanya kemiskinan dengan kekayaan, kebahagiaan dengan kesengsaraan, kecakapan dengan kejelekan atau lainnya, bukan berarti Tuhan  tidak adil dengan keberadaan hambaNYA. Manusia sering menilai bahwa kekayaan merupakan jaminan kebagaiaan, sehingga makna kemiskinan memang hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang sengsara.

Kaya atau miskin, pada dasarnya kita semua sama di hadapan Tuhan, Miskin juga. Miskin akhlak, miskin ilmu, miskin kepercayaan, bahkan miskin hati. Bagaimana tidak dikatakan miskin akhlak jika  dengan orang tua kita kerap kali membantah, kepada sesama teman tidak bisa saling menghormati? Jangankan kepada sesama manusia, sesama makhuk saja kita kerap memegang kekuasaan.

Bagaimana tidak dikatakan miskin ilmu jika masih banyak masyarakat kita yang berbicara hingga berbusa namun dangkal pengetahuan. Enggan  bertabayun kepada persoalan dan hanya ingin suaranya didengarkan. Bagaimana tidak dikatakan miskin kepercayaan jika kepada pemimpin saja kita kerap berbuat dholim? Jangankan kepada ulil amr, kepada janji-janji Tuhan saja kita sering mengabaikan. Bagaimana tidak dikatakan miskin hati jika suara sendok garpu kita beradu dengan tangis tetangga, tawa kita yang terbahak berirama dengan rintih kelaparan orang-orang di pinggir jalan? Apakah pantas dengan semua kemiskinan yang kita miliki kita dapat  menjamah kekuasaan Tuhan?

Jika dirasakan seolah-olah  urusan kemiskinan dengan agama terlihat semakin dekat. Sehingga seruan Adzan pada tiap-tiap masjid dan surau seperti hanya ditujukan untuk rumah orang miskin.

“Mungkin saat ini telinga kita masih berfungsi dengan baik, mendengarkan setiap seruan kebaikan melalui berbagai bentuk  pengeras suara. Namun hanya telinga itu saja yang berfungsi dengan baik, nurani dan akal budi kita lah yang justru tuli” (Muhammad Milkhan)

Tidak banyak dari kita yang sadar jika kebanyakan manusia memiliki hati yang keras melebihi batu. Hasrat binatang kitalah yang kerap menguasai diri kita, padahal sebagian apa yang ada dalam diri kita merupakan harta bagi orang lain. Perbuatan menghambur-hamburkan uang memang tidak pernah diajarkan dalam agama. Namun jika memberikan banyak uang kepada para pedagang asongan, para tukang jukir, para pengamen jalanan, tentu tidak banyak semerta-merta dikategorikan sebagai keburukan.  

Boleh jadi kita memang tidak butuh barang yang kita beli dari pedagang asongan. Namun, apakah kita pernah merasa jika yang terpenting bukan soal suka tidak suka atau butuh tidak butuh, melainkan sebagian kebahagiaan mereka dan rizeki mereka terdapat pada diri kita dan bagaimana cara pandang kita dalam memanusiakan manusia.

Dari situ kita akan tahu bahwa Tuhan hadir dalam tingkah kelaparannya orang miskin, dan kebahagian orang-orang yang pandai bersyukur.


"JUARA 3 LOMBA MENULIS ESEI PERCIK.ID"

Puji Lestari
Mahasiswi IAIN Surakarta. Santri Pondok Pesantren al-Fattah Kartasura.

1 Komentar

  1. www.percik.id

    Puji Lestari
    Memanusiakan Manusia

    "Tulisan ini merupakan juara 3 lomba menulis esei yang diselenggarakan oleh percik.id"

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama