Corona Di kala Musim Lowongan CPNS

PERCIK.ID- Ada kabar kalau masker ditimbun. Hand sanitizer ditimbun. Dan penimbunan barang-barang yang sebelumnya tak lazim, tak disangka-sangka, malah terjadi di moment yang separo mencekam bagi tidak sedikit orang. Tidak terasa virus Corona ikut melanda Indonesia, dan begitu cepat wabah ini meluas.


Di tengah situasi yang seperti ini bisa ditebak, barang-barang yang sedang dicari karena memang sangat dibutuhkan, kini seperti raib dari peredaran. Atau bila tidak, harganya yang naik berlipat-lipat.

Situasi yang demikian wajar bila dilihat dari hukum tarik menarik antara sudut biru dan sudut merah ekonomi. Semakin banyak permintaan, tentu harga akan ikut terkerek naik. Terlebih bila tidak diimbangi dengan suplai barang, maka otomatis harga akan melonjak drastis di tengah langkanya barang.

Kenaikannya tentu sangat menggiurkan. Betapa tidak, modal harga lama, tapi dijual dengan harga baru yang lebih tinggi. Siapa yang tidak ingin untung bak ketiban durian runtuh ini?

Tapi bilamana ketika memang barang sengaja ditimbun, sengaja dibikin langka, supaya harga naik tak wajar. Ujung-ujungnya, hanya segelintir orang yang menikmatinya. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan; oknum.

Dari sisi kemanusiaan, 99% saya yakin tidak akan ada perbedaan pendapat. Praktik dagang semacam itu tentu sangat lah tidak manusiawi.

Atau malah yang begini ini justru manusiawi?

Seperti ada ungkapan lama, "Homo homini lupus", manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Menggambarkan betapa manusia bisa sangat kejam bagi sesamanya.

Demikianlah dari jaman ke jaman berikutnya. Di setiap peradaban selalu ada bentuk "kejahatan" yang dilakukan oleh manusia. Entah itu kepada orang terdekatnya, tetangganya, rekan bisnisnya, atau siapa saja. Apa saja, termasuk lingkungannya. Selalu terselip sisi jahat di antara yang tidak jahat. Pada prinsipnya mungkin sama, hanya bentuknya saja yang berubah-ubah menyesuaikan diri dengan jamannya.

Karenanya tidak kaget bila sekarang, di tengah badai Corona ini, selalu ada yang mencoba mencari kesempatan dalam kesempitan. Tertawa di atas tangisan orang lain. Berharap untung di atas derita sesamanya.

"Berharap", padahal belum jelas dirinya sendiri akan selamat dari ancaman virus yang sangat mudah menular ini.  Tapi toh untung sudah di depan mata, pantang untuk tak mengaisnya. Bukan begitu?

Kurang-lebih seperti itulah yang kemudian melatar belakangi lahirnya hukum. Barangkali kalau kita hidup sendiri di hutan, hukum tidak lah diperlukan. Dengan adanya saling kontak, kehidupan sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, persinggungan kepentingan ini sangat rentan untuk terjadi konflik. Menyerang, merebut hak orang lain, dan lain-lain upaya agresi yang merugikan orang lain.

Lantas bagaimana dengan di sini, adakah "perlindungan" untuk kasus semacam itu?

Bagi siapa saja, hati-hati sebelum berniat main-main, karena stok peraturan kita cukup lengkap. Ternyata menimbun segala barang penting di tengah wabah Corona ini (tidak hanya masker dan hand sanitizer), dapat dihukum penjara maksimal 5 tahun, juga bisa ditambah denda sampai 50 miliar! (UU 7/2014 jo. Perpres 71/2015).

Tapi ini di atas kertas, karena bagaimana pun kertas tetap lah kertas. Tidak ada jaminan praktik dagang yang semacam itu tidak terjadi.

Terjadi? Ya, kita membaca beberapa berita ada belasan kasus yang berhasil diungkap tim Polri.

Keuntungan berlipat yang mungkin dikais memang sangat menggiurkan. Walau masih sebatas hitungan di atas kertas, banyak yang kepleset lantaran tak tahan iman. Tapi meski demikian, tidak benar bila kita kemudian mendiskreditkan para oknum yang kedapatan melakukan itu. Toh bagaimana pun, kita tetap sama dengan mereka. Masih sama-sama manusia. Pontensinya sama, berbuat salah.

Justru barangkali bila tanpa peran mereka, kita tidak segera sadar kalau masker dan hand sanitizer itu ternyata begitu penting di tengah wabah ini.

Kalau saja tak ada mereka, bagaimana kita bisa mengerti jika bapak polisi telah bekerja keras demi menjaga situasi tetap kondusif atas ancaman kasus penimbunan yang ada.

Dan, boleh jadi..

Sepertinya sebelas-dua belas dengan kisah Sahabat Abdurrohman bin Auf, yang ingin sekali jatuh miskin tapi gagal.

Konon diriwayatkan, beliau berharap jatuh miskin. Semua hartanya dihabiskan untuk membeli seluruh kurma busuk para sahabat. Alhasil, uangnya ludes berganti kurma busuk. Para sahabat senang karena urung rugi, kurma busuknya dibeli seharga kurma bagus. Abdurrohman bin Auf pun ikut senang, sukses jatuh miskin. Senang, tidak akan masuk surga belakangan.

Tapi apa mau dikata, mungkin memang sudah "balungan sugih", ternyata datang kemudian utusan Raja Yaman yang berniat memborong kurma busuknya dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.

Berharap buntung, malah untung. Kurma busuk yang sepertinya tak berguna, malah diperlukan sebagai obat wabah penyakit menular di negeri seberang. Mungkin tidak persis sama. Tapi jika mau, ada kesamaan prinsip yang bisa diambil.

Kembali lagi, boleh jadi..

Di musim Corona ini, justru sedang dibuka lebar-lebar lowongan CPNS, “Calon Penghuni Negeri Surga.”

Sebab adanya orang yang nekat menimbun atau menjual dengan harga tak wajar, justru ada kesempatan baik, borong, bagikan!

Mungkin solat kita hanya untuk kita sendiri. Puasa kita juga demikian. Wirid kita pun sama. Tapi tidak dengan sedekah. Tidak dengan sifat kedermawanan.

Sepanjang kita tidak salah niat. Yakin "CPNS" sedang dibuka lebar-lebar, justru di balik peran orang-orang yang terlanjur kita nilai "jahat". Jahat dihadapan nilai-nilai "kemanusiaan" yang ambigu. Jahat kah mereka?

Selalu ada kebaikan, bagi yang mau. Boleh jadi hanya dengan tidak menilai tidak baik Sudah menjadi sedekah yang sangat berguna dan kita perlukan kelak.

Tapi bila masih mau nekat juga (borong, bagikan). Maka sebelum Anda benar-benar begitu, mungkin ada baiknya bersiap diri dengan matang benar.

Bersiap dari perang argumen dengan istri, bersiap dilempar sapu, sampai bersiap tidur di depan pintu.

Siap?

Ali Wicaksono Adityo
Ahli Hukum, Penulis rubrik refleksi Majalah MAYAra  fb          

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama