Cermin Bening Syeikh Abu Junaid

PERCIK.ID- Sampai hari ini, sejarah masih menjadi cermin terbaik. Kaca paling bersih dan jernih. Tentu saja untuk generasi yang diamanahi menjaga bumi. Konon kata orang, orangnya juga kata konon, “Sejarah satu kepala, adalah sejarah ribuan kepala”.

Dunia Islam dewasa ini diwarnai dengan perdebatan-perdebatan sengit, tentang sekte mana yang paling benar. Tentang wajah (islam) mana yang paling sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.


Sebagaimana dikemukakan Buya Syafi’i Maarif dalam ‘Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam’, tonggak karier Islam sudah berlangsung dalam lipatan sejarah yang panjang. Waktu mengantarnya menjadi agama yang tidak lagi sederhana. Ia sudah kompleks sekali.

Karenanya, tidak jarang, muslim satu menanyakan temuan muslim lain dengan “Benarkah itu ajaran Islam? Atau hanya sempalan-sempalan ajaran lain yang menyerupainya?”

“Mana dalilnya?”

“Kembalikan saja pada al-Qur’an dan Hadis”

Dua kalimat di atas, barangkali merupakan kalimat yang kerapkali keluar untuk mengkafirkan, atau setidak-tidaknya mendiskreditkan paham sekte lain. Menanyakan landasan-dalil amalannya, dan memastikan praktik islam saudara satu keyakinannya tidak menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan hadis.

Mendiskusikan Islam tidaklah salah, berbeda pendapat antara satu dengan yang lain juga tidak keliru. Apalagi semua kita tahu, perbedaan adalah sunnatulloh. Dan dunia memang disetting tidak seragam olehNYA. Problemnya adalah wajah kita yang menggesekkan kebenaran satu dengan satu kebenaran yang lain.

Contoh yang paling beken, adalah boleh tidaknya tahlilan, bid’ah tidaknya manaqiban. Atau jika dirunut dari salah satu pengajian Gus Baha, boleh tidaknya salaman setelah ibadah sholat rampung.

Tanpa memungkiri dalil hadis (tentang) mushofahah (bersalaman) adalah dhoif, Gus Baha tetap menganalogika-kan satu contoh, dikemas dengan pertanyaan.
“Setelah sholat, kamu boleh main hp, ndak? Setelah sholat, kamu boleh ke kamar mandi, ndak? Setelah sholat, kamu boleh ngobrol dengan temanmu ndak? Jika jawabannya boleh, kenapa bersalaman setelah sholat kamu hukumi aneh-aneh?” kira-kira begitu menurut pandangan Gus Baha.

Kejadian senada, juga terjadi di era Sayyidina Imron ibn Husein – radhiyallahu anhu – atau yang masyhur dengan Julukan Abu Junaid.

Di masa itu, Syeikh Abu Junaid bercerita tentang syafa’at. Lalu ada satu orang laki-laki yang tiba-tiba menyerobot cerita Blio, mempertanyakan validitas cerita yang disampaikan Abu Junaid tadi.

“Wahai Abu Junaid, engkau menceritakan tentang sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an” kata lelaki tadi. Tak ayal, mendengar pernyataan tersebut, Syeikh Imron geram dan balik bertanya pada lelaki itu,

“Apakah kamu membaca al-Qur’an?” tanya Syeikh Imron. Lelaki itu mengangguk, mengiyakan.

“Apakah ditemui olehmu dalam al-Qur’an, dalil sholat isya’ empat roka’at, sholat maghrib tiga roka’at, shubuh dua roka’at, dhuhur tiga roka’at, dan ashar empat roka’at?” mendapati pertanyaan itu, lelaki itu tentu saja menemukan “Tidak” sebagai jawabannya.

“Lalu dari mana kamu mengetahui hal itu? bukankah kamu belajar dari kami, para ulama, yang terus bergulir sanadnya pada kanjeng Nabi?”

Dari selarik kisah Abu Junaid, semua kita tahu, semoga semua kita bisa mengerti, bahwa kita tidak bisa hanya berpedoman pada al-Qur’an secara tekstual. al-Qur’an butuh pembaca dan pembacaan, agar maksud di dalamnya bisa terbaca. Agar sholih likulli zaman wa al makan sebagaimana dikemukakan. Dan ya, al-Qur’an tidak pernah bisa kita pahami secara sempurna tanpa tafsiran njeng Nabi (baca:hadis), dan bantuan para ‘alim ulama’. Maka, sifat petengtang-petengteng berpedoman pada al-Qur’an secara tekstual adalah praktik yang tidak bisa dibenarkan.

Alloh knows best!




"Disarikan dari kitab Al Muntakhobat karya Hadratus Syeikh Ahmad Asrori Al Ishaqi"

Lifa Ainur Rohmah
Mahasiswi STAI Al Fithrah. Santri Putri Ponpes Assalafi Al -Fithrah. Surabaya  fb          

إرسال تعليق

أحدث أقدم