PERCIK.ID- Mbah Makshum Lasem merupakan satu Kiai tersohor di tanah
Jawa. Banyak santri beliau yang kemudian
menjadi Ulama’ besar . Di pesantren al-Hidayah yang beliau asuh, lahir Ulama’
kaliber KH. Mahrus Ali Kediri, KH. Bisri Syansuri Jombang, KH. Muslih Mranggen, KH. Abdulloh
Faqih Langitan, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Yusuf Hasyim, H. Mukti Ali, dan tentu
putra beliau sendiri KH. Ali Makshum yang kemudian menjadi pengasuh pondok
Pesantren Krapyak, Jogjakarta.
Mbah Makshum dilahirkan di Soditan Lasem, Rembang pada
1870. Oleh kedua Orang tuanya, Mbah Makshum diberi nama Muhammadun. Nama
tersebut kemudian berubah menjadi Makshum ketika haji di usia yang terbilang
tidak lagi muda. Ayah beliau sendiri bernama H. Achmad dan ibunya bernama
Qosimah. Beliau tidak berasal dari keluarga yang memadahi secara ekonomi. Hal
tersebut tampak ketika Mbah Makshum mulai menimba ilmu di Sarang, pondok asuhan
Mbah Umar, Sarang. Mbah Makshum berangkat ke pondok pertama kali dengan
berjalan kaki berbekal 3.5 kg karak (nasi yang dikeringkan) dan uang
sebesar 3 sen. Jarak dari Lasem menuju Sarang kurang lebih sejauh 40 km. Dan
sekali lagi, jarak tersebut beliau tempuh dengan berjalan kaki.
Barangkali besarnya tekad belajar yang beliau miliki yang
membuat Mbah Makshum terkenal cerdas di antara santri-santri yang lain. Para
santri pun tak sedikit yang meminta untuk diajari membaca kitab dan belajar
kepada beliau. Dari mengajar itulah, banyak dari santri yang secara sukarela memberikan
imbalan kepada beliau. Hal tersebut merupakan anugerah tersendiri bagi Mbah
Makshum yang memang sering tidak mendapatkan kiriman dari rumah. Ingin ikut
menjadi nelayan, tidak punya keahlian. Maka, dari mengajar itulah, Alloh
memberikan memberikan jalan Mbah Makshum remaja mendapatkan uang.
Hidup serba kekurangan juga beliau alami ketika menimba
ilmu di Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Berbeda dari mata pencaharian dari
ketika di Sarang yang mengajar sesama teman santri, di Jombang, Mbah Makshum berjualan
barang-barang yang dibutuhkan rumah tangga, seperti garpu, sendok, peniti, dan
lain-lain.
Memang ketika di Jombang, cara pembelajaran beliau
relatif lebih tidak menyita waktu.Disana, beliau sudah dikenal sebagai anak
muda yang memiliki pengetahuan agama mumpuni. Tak heran, di bawah asuhan KH.
Hasyim Asy’ari, lebih pada menimba Ijazah kitab tertentu yang kelak bisa
diajarkan bisa diajarkan kepada murid-muridnya.
Lambat laun, seiring waktu berjalan, semakin masyhur nama
Muhammadun. Hal tersebut yang kemudian menyedot minat beberapa santri meminta
beliau ajar. Padahal keadaan sudah tidak seperti ketika di Sarang. Di Jombang,
selain belajar, Mbah Makshum menyambinya dengan berjualan. Hal tersbeut
dilakukan karena ketika berangkat ke Jombang, ia meninggalkan seorang istri
bernama Muslicatun di Sarang, putri dari KH. Musthofa Lasem.
Karena tidak bisa meninggalkan aktifitas berjualan, maka
para santri pun diajar ketika tidak ada pembeli. Jika ada pembeli, pembelajaran
pun terhenti karena Mbah Makshum harus meladeni pembeli daganganya.
KH. Hasyim Asy’ari yang mengetahui rutinitas mengajar dan
berjualan yang Mbah Makshum lakukan memintanya untuk fokus mengajar saja.
Alangkah baiknya pulang ke kampung halaman dan mengajar disana. Akan tetapi,
permintaan dari Kakek dari Gus Dur tersebut tidak bisa beliau turuti karena
merasa belum memiliki banyak kemampuan dan masih perlu banyak belajar.
Penolakan tersebut ternyata berbuntut pada kejadian yang
membuat Mbah Makshum tidak lagi bisa menolak untuk mengajar dan kembali ke
kampung halaman. Alasannya, karena suatu hari dalam tidurnya, beliau mendengar
pesan, “Muhammadun (Nama kecil Mbak Makshum, red), kembalilah kepada
kaummu. Ajarilah mereka ilmu agama”. Pesan tersebut begitu membekas dalam diri
Mbah Makshum. Konon, pesan tersebut merupakan pesan yang dibisikkan oleh
Rosululloh saw.
Mengerjai dan Dikerjai Kiai
Suatu ketika, Mbah Makshum pernah mencoba kewalian Kiai Hamid,
Pasuruan. Mbah Makshum mendatangi Mbah
Hamid dengan suatu keperluan. Mbah Makshum membutuhkan uang senilai 25 juta.
Jumlah yang dimungkinkan tidak dimiliki oleh Kiai Hamid. Tapi Mbah Makshum membatin, jika Kiai Hamid
benar-benar wali, maka akan punya 25 juta seketika itu juga.
Tak lama, tiba-tiba datang tamu rombongan satu bus. Dan
ternyata, ketika pulang, para tamu undangan tersebut memberikan salam tempel
berjumlah 25 juta. Pas dengan apa yang
dibutuhkan oleh Mbah Makshum. Subhanalloh! (sumber: bangkitmedia.com)
Selain pernah “mengerjai” Kiai Hamid, Mbah Makshum juga pernah “dikerjai” oleh KH.
Bisri Musthofa, ayah dari KH. Musthofa Bisri (Gus Mus). Mbah Makshum memang
terkenal konservatif dan sangat ketat dalam menerapkan hukum fikih sehingga
unsur ihtiyath (kehati-hatian) tampak sangat dominan.
Ihtiyath itu yang membuat Mbah Makshum mengharamkan
sepatu, dan dasi, hingga radio dan televisi, setidaknya untuk beliau sendiri.
Akan tetapi sikap ini melunak karena sering “dikerjai” oleh KH. Bisri Musthofa
dengan banyolan yang jenaka. Misalnya ketika suatu hari Mbah Bisri sowan ke
Lasem dengan pakaian keren, sepatu mengkilat lengkap dengan kaos kaki. Mbah
Makshum berkata, “Sejak kapan kiai pakai sepatu?” Dengan tenang dan bernada
menyindir Mbah Bisri menjawab, “Sepatu lebih menjamin kesucian daripada teklek,
Pak Kiai.”
Kecintaan Luar Biasa Kepada Nahdlotul Ulama’
Mbah Makshum merupakan salah satu Kiai yang menyatakan
dengan tegas, tidak ridlo anak turunnya tidak ikut Nahdlotul Ulama’. Hal
tersebut merupakan cerminan cinta pada organisasi yang didirikan Sang Guru, KH.
Hasyim Asy’ari. Tidak hanya itu, Mbah Makshum juga ikut turun andil dalam
pendirian dan penyebaran organisasi ini di daerah-daerah.Rasa cinta kepada NU
tersebut membuat beliau hampir tidak pernah absen dalam pertemuan nasional,
bahkan ketika usia sudah sangat sepuh.
Rasa cinta kepada “NU” pula yang membuat beliau yang
konservatif mengakomodasi anshor di daerah mendapatkan seragam karena keluhan
pengurus Anshor mengenai tidak adanya dana membeli seragam. Mbah Makshum dengan
caranya sendiri akhirnya menyediakan seragam yang dibutuhkan. Tapi ternyata
masih ada keluhan lain, yaitu keluhan belum ada dasinya.
“Meraka kalau memakai pakaian seragam dengan dasi hijau
tampak lebih gagah dan berwibawa” Kata ketua NU Lasem ketika itu.
“Kowe kabeh iki dho’if temen, usaha dasi kok ora biso.
Aku emoh dikon golek dasi. (Kalian semua lemah sekali, usaha dasi saja kok
saja tidak bisa. Aku tidak mau disuruh mencari dasi).
Penolakan itu, selain memang ingin ada usaha dari
pengurus Ansor, kemungkinan juga karena beliau yang tidak begitu suka hal-hal
semacam dasi ini.
Namun ternyata, rasa cinta beliau yang besar membuat
beliau memilih jalan alternatif. Beliau pun berseloroh sambil melihat satir di
ruang tamu.
“Kalau mau, buatlah kain itu satir itu sebagai dasi”
Satir yang dimaksud adalah kain yang membentang di
ruangan tamu sebagai pemisah antara tamu laki-laki dan perempuan. Takdirnya
warnanya hijau, persis keinginan pemuda Ansor.
Ketua Ansor Lasem itupun dengan sigap mengambil kain yang
dimaksud. Sontak Mbah Nyai Makshum uringan-uringan, “Lo kain satir-ku kok kamu
ambil, nanti tamu saya kelihatan dari luar!”
“Biarkan saja. Kain satir itu bisa dibuat dasi Ansor,
besok saya carikan gant inya” Ujar Mbah Makshum mencoba membujuk.
Akhirnya pemuda Ansor Lasem memakai dasi bekas bekas kain
satir. Selain mengakomodasi seragam dan dasi, Mbah Makshum juga turut andil
dalam mengusahakan peralatan drumband Ansor Lasem. Bukti besarnya cinta
beliau kepada Nahdlatul Ulama’ yang benar-benar nyata. Beliau berprinsip,
jangan sampai pemuda menjadi korban hanya karena kefakiran. Itulah sebabnya,
Mbah Makshum melaksanakan progam anak asuh. Santri miskin dibebaskan dari biaya
pendidikan dan ditanggung segala kebutuhannya. Bahkan jika ada santri yang
berprestasi dan berbakat, diberikan beasiswa untuk dikirim ke pesantren lain.
Andil besar sebagai wujud cinta juga sangat mencolok
ketika terjadi pemberontakan PKI. Beliau turut berperan dalam segala strategi
dan cara penumpasan pemberontakan tersebut. Salah satunya dengan mempersilahkan
rumah dan pesantren beliau untuk
dijadikan sebagai markas komando dan strategi aksi penumpasan PKI.
Tahu Kapan Akan Meninggal
Pada bulan syawwal 1390 (1970), KH. Baidlowi yang
merupakan paman dari pihak istri sedang sakit. Beliau pun datang untuk
menjenguk di ndalem KH. Baidlowi. Dalam kesempatan tersebut, Mbah
Makshum berujar, “Sempeyan jangan meninggal dulu. Masih banyak masalah
yang perlu diselesaikan. Kalau sampean meninggal, dua tahun lagi saya akan
menyusul”
Apa yang diujarkan oleh Mbah Makshum memang bernada
kelakar, tapi ternyata perkataan beliau benar-benar menjadi kenyataan. KH.
Baidlowi wafat pada 1970, sedang Mbah Makshum wafat pada 20 Oktober 1972.
Beliau meninggal di Rumah Sakit Kariading Semarang dan dimakamkan di samping
Masjid Jami’ Lasem.
Sebelum meninggal, Mbah Makshum sempat memanggil anak
cucunya dan meninggalkan pesan. Pesan itu antara lain agar anak cucunya selalu
mencintai fakir miskin dan selalu tolong menolong dengan sesama, “Lanjutkan
pesantren ini dengan ketekunan dan kesabaran mendidik santri. Peliharalah
kerukunan dan jauhilah perselisihan di
antara sesama.”