وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
ياَبْنَ آدَمَ بَاكِيًا
وَالنَّاسُ حَوْلَكَ
يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا
فَاعْمَلْ لِيَوْمِكَ
أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَوْا
فيِ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكًا مَسْرُوْرًا
Wahai
anak Adam, dulu kamu dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis sedang manusia
disekitarmu tertawa bahagia.
Sekarang
berusahalah agar kamu tertawa bahagia dan manusia menangis kehilangan, saat
nanti kamu meninggalkan dunia.
PERCIK.ID- Sya’ir di atas adalah gubahan Ali bin Abi Tholib ra., yang lekas saya ingat ketika membaca berita kematian Didi Prasetyo atawa Didi Kempot, Lord of Broken Heart.
Beberapa waktu lalu sempat dirilisnya sebuah lagu dengan
judul bernada himbauan, atau barangkali mendekati larangan "Ojo
Mudik". Kita mendengarnya berkata, "Ojo lali nyenyuwuno sing
banter", jangan lupa berdoa dengan lantang. Ungkapan ketakberdayaan seorang
hamba tanpa pertolongan Tuhannya. Barangkali ia tak nampak sebagai sosok yang
religius. Tetapi religiusitas itu kan soalnya selalu kita lihat dari
simbol-simbol yang kasat mata. Jadi tak mengherankan jika ada yang sangsi atas
identitas keislamannya dan enggan mengirimkan doa serta bacaan al-Fatihah
untuknya ketika mendengar berita kematiannya. Saya pribadi meyakini bahwa Lord
Didi adalah manusia yang mulia. Kiprah kebaikannya tak hanya soal galang dana,
sepanjang sejarah hidupnya dihiasi tindakan-tindakan yang jadi penanda bahwa
kemulian itu bersemayam pada dirinya.
Kita tak bisa memilih dari orang tua mana dilahirkan;
yang terkenal serta kaya atau orang biasa yang miskin papa. Manusia juga tak bisa
memilih di rumah, negara, dan benua mana ia memulai hidupnya serta berasal dari
ras apa. Artinya, sejak semula, manusia telah berbeda dari yang lainnya.
Memulai hidup dengan jalan perjuangan yang berbeda. Itulah mengapa, tanpa perlu
menjadi dirinya sendiri, manusia justru tidak bisa menjadi orang lain. Ia hanya
bisa menjadi dirinya sendiri, tak bisa lain. Untuk itu, kemulian sebagai
manusia tak hanya bisa ditempuh oleh para syaikh, kiai, ustad, pastor atau para
pemimpin agama. Kemuliaan adalah hak setiap manusia yang serius menekuni
hidupnya. Tukang becak kah itu, pemimpin sebuah negara kah dia, atau
orang-orang biasa kebanyakan. Sebab sebaik-baik manusia adalah anfauhum
linnas, yang memberikan manfaat seluas-luasnya bagi sesamanya semampunya.
Didi Kempot teramat patut masuk dalam kategori tersebut.
Lagu-lagunya menemani sopir-sopir truk yang kelelahan
mencari nafkah untuk keluarga agar tetap terjaga dan waspada. Menemani canda
orang-orang kecil di warung. Memeriahkan hajatan banyak orang dari sunatan,
pernikahan sampai dengan harlah organisasi keagamaan. Mengaktualkan kenangan
duda-duda tua—yang sudah tak berani menikah lagi—kepada mendiang istrinya.
Meresapkan lagi kenangan masa muda kepada mereka yang beranjak menua.
Meringankan beban para pemuda-pemudi korban gagal cinta. Dan lain-lain. Dan
lain-lain.
Sebagai penyanyi, Didi Kempot telah lengkap sebagai
manusia. Telah memenuhi syarat untuk jadi sebaik-baik manusia. Bahwa ada
kesalahan atau dosa yang pernah dilakukannya selama hidup di dunia, bukankah
justru itu syarat kelengkapan sebagai manusia? Manusia tempat salah dan lupa,
tetapi Tuhan Mahapengasih kepada hambanya yang pengasih kepada sesamanya. Ia
sediakan ampunan seluas-luasnya.
Alloh berkata kepada hambanya dalam hadis qudsi, "Hai
anak Adam, Aku telah sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku". Si hamba
balik bertanya: "Wahai Tuhan, bagaimana cara saya menjenguk-Mu,
sedangkan Engkau Tuhan penguasa alam semesta". Alloh menjawab:
"Apakah engkau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan
sedang sakit tetapi engkau tidak mau menjenguknya. Sekiranya engkau mau
menjenguknya, pasti engkau dapati Aku di sisinya."
Berapa juta orang yang dengan sadar maupun tidak, mendaku
dirinya sebagai Sobat Ambyar, Kempoters, Sadboys maupun Sadgirls?
Mereka yang sakit, pernah sakit dan masih sakit hatinya, ambyar jiwanya
kemudian dijenguk Didi Kempot, ia dendangkan lagu-lagunya, menghibur susah hati
mereka, meringankan sakit yang mereka bawa, lalu mereka sejenak lupa, merasa
lega, lantas tertawa dan joget bersama. “Patah hati boleh, asal
jangan patah semangat”, pesannya. Tidakkah dengan begitu Didi Kempot telah
mendapati Alloh di sisi mereka yang ambyar hatinya itu?
Dalam kehidupan sehari-hari, Lord Didi adalah manusia
dengan kepedulian sosial yang tinggi dan hangat dalam pergaulan. Dia telah 141
kali menjadi pendonor darah dan mendapat piagam emas dari tingkat kabupaten,
provinsi maupun pusat. Istrinya mengatakan, kemarin Lord Didi masih aktif bakti
sosial seharian, selepas berbuka menghadiri syukuran di rumah kawan, lalu
ngimami traweh keluarganya dan sempat main ping-pong sebentar dengan anak
sebelum merasakan sakit yang lantas membuatnya musti diperiksakan ke rumah
sakit yang kemudian berakhir dengan kabar kematiannya.
Saya tidak mengenalnya secara pribadi, hanya mengenalnya
lewat lagu-lagunya yang semenjak kecil saya akrabi: mulai dari; Kuncung,
Stasiun Balapan, Sewu Kuto, Tanjung Mas Ninggal Janji, Layang Kangen sampai
yang viral setahun terakhir ini, Banyu Langit, Kalung Emas, Cidro dan Pamer
Bojo. Tapi saya bersaksi bahwa Didi Kempot adalah manusia yang tak hanya
bermanfaat bagi hidup saya, melainkan juga banyak orang di luar sana.
Didi Kempot, manusia yang dengan bangga dan konsisten
menyanyi sampai akhir hayatnya dengan Bahasa Ibunya, Bahasa Jawa. Kelak musti
ada penelitian tentang seberapa besar jasanya atas lestarinya Bahasa Jawa, di
tengah ambyarnya bahasa-bahasa lain di Nusantara yang terancam punah karena
dilupakan oleh mulut-mulut penduduk aslinya.
Beberapa waktu sebelum kematiannya, kita melihat Didi
Kempot menggelar konser penggalangan dana #Dirumahaja besutan Narasi. Setelah
penampilan fenomenal darinya, donasi yang terkumpul telah melewati angka Rp. 9
miliar dan terus bertambah. Ia juga terlibat dalam "Konser Amal dari
Rumah" yang digelar oleh Kompas TV. Usai acara, dia mengucapkan terima kasih
kepada seluruh donatur karena jumlah dana yang terkumpul jauh melebihi
bayangannya. Total donasi yang masuk tercatat Rp. 7,6 miliar. Menurut Rosiana
Silalahi, wartawan senior Kompas, Lord Didi tak pernah menyinggung berapa besar
bagian yang akan didapatnya. Ia bernyanyi dengan tulus demi kemanusiaan.
Suaranya, seperti yang sudah-sudah diperuntukkan untuk menemani mereka yang
kalah.
Selamat jalan, Lord. Hormat untukmu. Tak perlu
diragukan lagi bahwa akan banyak sekali orang yang menangisi kematianmu. Sedang
engkau sendiri tertawa, menghadap Tuhan dengan bahagia.