PERCIK.ID- Kita sedang ada dalam pusaran peradaban yang berjibaku dengan uang. Jujur
saja, tak perlu ditutup-tutupi lagi, bahwa uang hampir-hampir menjadi pangkal
dan ujung semua soal dalam kehidupan kekinian. Kesuksesan diukur dari uang,
sedemikian juga kegagalan juga ternilai dari pencapaian atas uang. Pekerjaan,
karya, apalagi yang benar-benar berupa perdagangan, semuanya meletakkan uang
sebagai pertimbangan terdepan.
Ringkas kata, uang telah mbalung sungsum dalam kehidupan kita. Peradaban
kita ini, ya, peradaban uang. Tak usah disangkal dan dibantah dengan alasan
atau dalih apapun. Kita semua tahu dan merasai itu kok.
Kalaulah ada mereka-mereka yang lega lila menjalani peran kehidupan
tanpa memikirkan uang, menjalani pekerjaan sebagai sebentuk pengabdian, lepas
dari berapa banyak yang dia peroleh seberat dan sesulit apapun pengabdian itu,
maka saya yakin jumlah para patriot itu tidaklah banyak.
Barangkali, sikap kita yang demikian kedonyan ini tumbuh subur dari
lingkungan dan atmosfer yang serba modern. Dalam era ini, entah bagaimana asal
muasalnya, kita dituntut untuk serba cepat, tangkas, produktif, berkemajuan,
progresif, dan semacamnya. Manusia modern adalah mereka yang terus menggugat,
merekayasa, mencipta, dan memproduksi sebanyak-banyaknya.
Kita semua mengenal karakter atmosfer ini dengan istilah yang khas:
kapitalisme.
Dalam suasana padat modal dan padat karya seperti ini, tentu mereka yang berkarakter nrimo ing pandum,
akan teralienasi menjadi pihak-pihak yang dinilai statis. Mereka akan dianggap sebagai
manusia yang tidak punya greget, tidak ada power, atau bahkan
juga disalah-salahkan dengan membawa claim yang sedikit agamis; tidak dapat
memberi manfaat untuk sesama.
Padahal boleh jadi, mereka yang terpinggirkan dengan sikap pasrahnya itu,
adalah mereka yang berjiwa patriot sejati. Mereka adalah pendekar kehidupan
yang mampu mempanglimai kenyataan hidup, dalam segala bentuknya: kemelaratan,
kemiskinan, penderitaan, ketidakjelasan masa depan, yang semuanya itu, sekali
lagi, merupakan indikator-indikator ketertinggalan bagi standard peradaban
modern.
Bahwa mereka, dalam penderitaan dan nestapanya, tetap aman tenteram jiwa
dan hati mereka, itu sudah bukan soal penting bagi manusia modern. Peradaban
modern tak bisa menjangkau keterkaitan puzzle-puzzle penderitaan dan
kebahagiaan batin para pendekar kehidupan.
Sejurus dengan patriotisme para pendekar kehidupan tersebut, Islam
sebenarnya menitipkan pada kita senjata ampuh untuk mengarungi samudera
kehidupan dengan segala kemungkinan episode didalamnya, ialah kombinasi syukur
– sabar – qanaah.
Namun sayang, mekanisme peradaban modern mendorong terciptanya keterhubungan
sosial sistematis yang, mau tak mau, membuat perilaku satu pihak dapat berimbas
pada pihak lain dengan cepat, termasuk pada mereka yang memilih setia dalam
kecukupan dan kesyukuran tadi.
Jadi, kalaupun Anda telah mantap pada pilihan hidup untuk mencukupkan diri,
bersyukur atas apa yang ada, dan segala kemuliaan laku hati yang Anda bangun,
bukankah setidaknya Anda tetap diwajibkan waspada atas sepak terjang manusia
lain yang mungkin bisa mendzolimi sekitarnya?
Tidakkah kepasrahan sikap Anda yang memilih sendiri dalam ketenangan dan
kemuliaan itu, justru bisa menjadi sikap berbahaya karena membiarkan
kemungkinan kesewenang-wenangan tumbuh subur dan mekar di halaman rumah,
taman-taman kampung, atau sekolah-sekolah anak Anda.
Maka, menurut pandangan pendek saya, inilah sejatinya tantangan Muslim di jaman
edan ini.
Bahwa kita sedang berkutat pada pergulatan kapitalisme yang sangat mencekik
hati dan jiwa manusia, itu benar. Namun memilih sekadar aman dalam ranah yang
amat privat, juga tak ubahnya mengurung potensi kebermanfaatan Islam yang rahmatan lil
alamin.
Islam yang semestinya menjadi referensi nilai sepanjang masa, dan relevan
terhadap segala kondisi, haruslah kita kemukakan dalam carut marutnya
pergulatan kemodernan. Menemukan model penerapan Islam yang tepat, yang
akomodatif pada perubahan zaman, namun juga tak mengurangi esensi dan
kesakrakal spiritualnya, adalah PR bagi segenap kita yang mengaku menjadi
Muslim.
Soal teknis penerapannya seperti apa, wajib kita temukan sendiri akurasi
aplikasinya dalam ranah dan peran kita masing-masing. Barangkali cara paling
mudahnya: kalaupun kita belum bisa menampilkan kerahmatan Islam yang sejati,
setidaknya tampillah sebagai manusa modern yang ber-Islam dengan moderat,
dengan universal, dengan kosmopolit, yang berwajah menyenangkan dan
membahagiakan.
Jangan justru menampilkan Islam yang marjinal dan ingah-ingih, yang
kaku, beku dan menyulitkan, yang seolah amat sangat lemah dan pantas tersisih.
Atau lebih kacau lagi, yang hanya bisa garang dan menakutkan diantara lajunya
kemajuan.
Muslim cap opo, Le, Le?