Pesan Membaca



PERCIK.ID- Malam itu saya terhentak bangun dari lelapnya tidur. Seseorang di dalam ketidaksadaran saya dengan asyik dan gayeng membangunkan saya dari tidur dengan cara mencandai saya lewat gaya sepuh beliauyang begitu khas. Salah satu orang terkasih yang sudah “kundur” lebih dulu saat saya masih baru belajar bersosialisasi dan berorganisasi: SMA. Mungkin kalau beliau masih sugeng sekarang akan banyak hal bisa saya diskusikan dengan beliau. Bagaimana tidak beliau adalah seorang veteran yang turut bergerilya saat zaman clash. Clash menjadi diksi yang beliau pakai untuk menggantikan zaman penjajahan. Begitu enerjik ketika beliau berceritera mengenai sepak terjangnya berhadapan dengan tentara-tentara bule kala itu.

Ada satu nasihat yang sampai saat ini saya dan mungkin bapak saya pegang. pada suatu sore, saya sowan ke rumah beliau. Seperti biasa, mbah puteri menyeduh teh hangat untuk kami berdua. Sementara, secangkir kopi hitam pahit mbah kakung sudah terseruput satu teguk disela dengan “Dji Sam Soe” kretek beliau.

Sore itu hujan baru reda, bau tanah basah sungguh semerbak dan terasa ndeso sekali. Damai. Ayam-ayam yang berteduh kembali berhamburan keluar mencucuki permukaan bumi yang belum kering. Sepertinya banyak cacing tanah yang mereka temukan. Sementara, tetangga kiri kanan mbah kakung juga keluar merapikan jalanan depan dan sebagian pelataran mereka yang becek.

Bapak menemani mbah kakung dengan takdzim, sedangkan saya di ruang tengah membersamai mbah putri. Ada secuplik kalimat yang mbah kakung nasihatkan untuk bapak saya waktu itu. Waktu usia saya sekitar 12-13 tahun.

“Win... kalau Pandu merajukmu meminta console sejenis Playstation atau jenis mainan apapun. Jangan pernah kau turuti dengan percuma,” dawuh mbah kakung.
Bapak waktu itu hanya mbatin, “uang yang mana untuk menuruti hal mahal semacam itu.”

“Namun jika Pandu meminta buku padamu, turuti ia walaupun kau harus berhutang,” lanjut mbah kakung.

Sebenarnya saya tidak terlalu jelas dengan percakapan beliau berdua, tetapi bapak mengulang kembali nasihat itu di rumah. Sebuah nasihat yang rasanya belum berarti apa-apa, karena waktu itu saya masih berpikir memiliki Playstation sendiri di rumah lebih enak, nyaman, dan mungkin lebih hemat dibandingkan dengan harus main di rental yang per jamnya Rp 1500-2000. Bagi saya waktu itu, buku bukanlah hal yang harus diidolakan. Membaca majalah Mentari, Bobo atau tabloid Fantasi rasanya sudah lebih dari cukup. Waktu itu, saya pun juga tidak habis pikir, “masak iya ada orang membeli buku sampai harus berhutang?”

Kegemaran membaca yang kini menjadi habit saya rupanya terbentuk dari sebuah pesan mbah kakung yang sepertinya bukan sebuah hal besar waktu itu. Seperti tulisan-tulisan saya di percik.id sebelumnya, saya masih meyakini bahwa semua ini terjadi atas dasar kekuatan yakin. Atas dasar menghujamnya do’a yang sungguh-sungguh dari pribadi maupun orang banyak yang sembunyi-sembunyi mendo’akan. Saya tidak pernah berencana bisa menulis atau pun senang membaca, namun saya memiliki sebuah harapan untuk bisa melakukan keduanya di tengah kesibukan dari kandang ke kandang yang cukup menguras energi.

Walhasil, ketika satu per satu buku saya lahap, ketika jurnal demi jurnal saya coba pahami, ketika beberapa kitab saya kaji melalui mursyid, ada manfaat lebih yang saya temukan. Sebuah keterikatan dan keterkaitan untuk ‘nyambung’ dengan lawan bicara dalam bersosialisasi dan bermasyarakat. Atau tidak usahlah dulu muluk-muluk berbicara manfaat membaca dalam bermasyarakat yang kompleks. Saya membuka obrolan dengan calon istri (sebelum menikah dulu) sehingga saya menemukan kecocokan karena selera bacaan kami yang serupa. Kami berbicara dengan asyik soal Da Vinci Code dan Inferno karya Dan Brown, Harry Potter milik J. K. Rowling, Mahabharata, karya-karya milik Bapak Quraish Shihab, tulisan renyah milik Salim A. Fillah, dan beberapa kisah Abu Nawas. Anda jomblo? Membacalah. Temukan jodoh Anda dari buah membaca.

Sungguh, saya rasakan betul hari ini. Membaca, mengkoleksi buku, dan menulis adalah sebuah kegemaran di luar kegemaran saya bersepak bola sejak kecil. Manfaatnya jelas terasa. Setiap wawasan yang masuk dari hasil membaca menjadi peluang tersendiri untuk mengaktifkan sikap perilaku baik. Ada hal yang selalu ditimbang-timbang dari hasil membaca. Ada proses berpikir untuk bertindak sebagai buah dari membaca. Ada informasi yang menjadikan kita beradaptasi lebih baik untuk membuka atau mengikuti sebuah obrolan dari membaca. Teruslah membaca agar setiap tindak tanduk kita terukur. Lanjutlah membaca agar semakin luwes bermasyarakat.


Pandu T. Amukti
Santri yang nDokter Hewan. 

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama