Kunyah “Abu” Versi Jawa

PERCIK.ID- Kita sekarang berada di era simbol agama dikibarkan sedemikain tinggi hingga tidak sedikit orang yang ingin menunjukkan keislamannya dengan tampilan dan ciri ke-arab-araban yang melekat. Tidak hanya soal style, tapi juga sampai ke nama. Salah satu yang masyhur dan umum digunakan adalah nama Abu. Banyak orang berubah namanya dan bertambah Abu di depan namanya karena merasa lebih dekat dengan sunnah nabi.

Abu sendiri dalam bahasa arab bermakna bapak. Cara menggunakan nama Abu adalah dengan mengikut sertakan nama anaknya di belakang nama Abu. Misalnya nama anaknya Fattah, maka namanya menjadi Abu Fattah. Jika nama anaknya Rizal, maka namanya Abu Rizal. Meski yang memiliki nama Abu belum tentu berkonsep kunyah macam tren kemarab (ke arab-araban) yang sedang merebak. Kemarab lain yang tidak kalah populer ada Abi, Umi, Akhi, Ukhti. Tapi saya tidak akan membahas detail tentang itu. 

Yang menjadi rujukan atas penggunaan nama tersebut tidak lain adalah Rosululloh saw. yang juga dipanggil dengan Abul Qosim. Barangkali yang paling jelas adalah pemberian nama Abu Syuroih dari Rosululloh saw.

Abu Syuraih pada awalnya dijuluki dengan Abul Hakam. Melihat hal ini Rosululloh saw bersabda, “Sesungguhnya Alloh adalah Hakim, dan kepadaNYA tempat berhukum”

Lalu, Abu Syuroih menjawab, “Sesungguhnya kaumku apabila berselisih tentang sesuatu. Maka, mereka mendatangiku dan aku memberikan keputusan bagi mereka, dan semua pihak menerimanya.”

Nabi saw bersabda, “Alangkah baiknya ini. Apakah kamu memiliki anak?”

Dia menjawab, “Syuroih, Muslim, dan Abdulloh.”

Nabi saw bertanya, “Siapa di antara mereka yang paling besar?”

Dia menawab, “Syuraih.”

Rosululloh saw. bersabda, “Kamu Abu Syuroih” (Anakku Investasiku, Miftahul Luthfi Muhammad)

Tapi ternyata orang Jawa, soal kunyah ini, sudah menjadi panggilan sehari-hari dengan versinya sendiri. Disinilah keindahan cara orang jawa menyikapi hal-hal semacam ini. Orang jawa mengambil konteks dari apa yang disabdakan oleh Nabi dengan membaurkannya dalam bingkai budaya yang sedemikian melekat. Itu pula yang diajarkan oleh para wali songo dalam menyebarkan agama Islam. Tidak perlu tampak kemarab, tapi sari dari apa yang diajarkan tetap terimplementasikan.

Di Jawa, laki-laki yang sudah memiliki anak akan dipanggil dengan nama anaknya. Biasanya yang dipasang adalah nama anak pertama. Misalnya, Pa’e Hamka, Pak’e Malaki, Pak’e Zahra, Pak’e Anung dan sebagainya. Atau barangkali Presiden Jokowi dulu dengan kolega dan para tetangga juga dipanggil dengan "Pak'e Gibran". Ini implementasi nyata dari apa yang disabdakan oleh KanjengNabi saw. tanpa tampak mencolok dalam praktiknya.

Dengan cara seperti apa yang orang jawa lakukan, amaliah akan berbaur menjadi budaya tanpa merasa lebih tinggi karena melakukannya. Dalam perkara amal yang lain, orang jawa memang punya sikap bisa melebur, tanpa harus menampakkan diri telah melakukan amalan ajaran Islam.

Ahmad Yusuf Tamami Muslich
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra"  fb  
Tulisan yang Lain

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama