Ngalor Ngidul Pengen Sugih

PERCIK.ID- Banyak orang ingin berbisnis. Bahkan mereka yang telah mapan bekerja sekalipun, ingin berdiri sendiri dan mandiri, dalihnya. Dengan berbagai alasan apapun, kita semua sama-sama tahu, motivasi menjalankan usaha dagang yang paling umum, ya, apalagi kalau bukan karena pengen sugih. Ngalor ngidul, menungso pengen sugih.


Kalau praduga saya tadi benar, maka bisa kita gulirkan asumsi sambungannya, bahwa kebanyakan orang yang berkeinginan menjadi pebisnis itu rata-rata berpikiran bahwa bisnis pasti berujung kaya. Meskipun banyak cerita kegagalan usaha dagang, tapi toh pebisnis yang sukses lebih menggemuruhkan motivasi bagi kebanyakan mereka. Juga mungkin, saya.

 

Yang jadi masalah, seringkali kita nggak ngukur potensi. Pengen jadi petani nggak kuat panas-panasan, pengen jadi nelayan tapi mabok laut, pengen jadi peternak kambing tapi jijik dan pusing pada bau prengus, pengen bisnis nggak ngeliat dirinya bisa mengelola macam-macam urusan.

 

Dari soal itu saja kita mustinya mengedepankan muhasabah (mengukur dan menakar diri) terlebih dahulu. Sebelum ubet masalah pengen kemana dan mau apa. Don’t start a business for the sake of starting a business, begitu kata Pak Peter Thiel, seorang venture capitalist ngetop.

 

Belum lagi kalau, misalnya saja, kita hendak menyandingkan praktik dagang dengan prinsip-prinsip ukhrowi. Dari sana, akan muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti umpamanya, bagaimana caranya menjalani metode yang paling benar dalam berdagang?

 

Bagaimana meletakkan motivasi mencari untung dengan pijakan semangat rohmatan lil alamin, yang secara konsep sebenarnya adalah serba memberi, bukan mencari-cari, apalagi mengejar keuntungan.

 

Kalau njenengan sempat membedah buku karya Afzalurrahman berjudul “Muhammad Sebagai Seorang Pedagang” terdapat satu pembahasan yang cukup membuka pikiran saya, bahwa rupanya Muhammad saw. yang kita kenal juga sebagai pedagang itu, menjalani profesi dagang sekadar untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk menjadi jutawan.

 

Ini mindblowing banget buat saya. Sebab seperti asumsi saya di atas, telah mafhum buat kebanyakan kita, berdagang atau berbisnis, seperti dawuh Rosul saw. adalah sembilan dari sepuluh pintu rejeki. Dan kita tafsirkan pintu rejeki itu sebagai jalan menuju kekayaan.

 

Padahal Nabi, menjalani itu tidak dalam rangka ingin kaya.


Ancene kita ini nggapleki betul. Hadis atau anjuran agama sering kita ambil bukan sebagai dalil, melainkan menjadi dalih. Dia kita kemukakan agar nafsu untuk menjadi kaya mempunyai pembenaran. Dan gawatnya, kita pakai perkataan Nabi untuk menutup-nutupi syahwat duniawi itu tadi. Wis...ambyar..ambyar...

 

Maka ini menjadi masuk akal,  bahwa Nabi jelas tidak mungkin mengajari kita untuk cinta dunia. Bahwa Nabi berdagang, sekali lagi, karena itulah pekerjaan mulia yang mungkin beliau tempuh untuk menjadi syariat pemenuhan kebutuhan sehari-harinya.

 

Maka, ini pun bisa menjadi dasar bagi siapapun, untuk menempuh pekerjaan apa saja asal halal dan bisa menjadi jalan tercukupinya kebutuhan. Tidak harus memaksakan diri menjadi pedagang.

 

“Aku tidaklah diberi wahyu untuk menumpuk kekayaan atau untuk menjadi salah seorang dari para pedagang.”, begitu ujar beliau yang jarang terkutip karena tak selaras dengan nafsu dan keinginan kita.


Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama