Menjadi Manusia yang Diharapkan Manusia

PERCIK.ID- Islam mengajarkan akhlak yang baik kepada sesama manusia dengan sedemikian detail dan terperinci. Kebahagiaan orang lain dengan adanya diri kita menentukan posisi kehambaan kita. Alloh senang dengan orang-orang yang berarti bagi hamba-hambaNYA.


Nyatanya, membahagiakan orang –apalagi banyak orang- bukan perkara mudah. Kita dihadapkan dengan karakter, keinginan, dan pandangan yang bermacam-macam. Untuk menjadi manusia yang bisa membahagiakan banyak orang, tentu kita harus menyiapkan berbagai karakter yang bisa menyesuaikan dengan orang yang sedang dengan kita. Menjadi semacam ini jelas bukan barang mudah dan hanya dimiliki oleh segelintir orang, atau bahkan mungkin tidak akan pernah ada yang memiliki sama sekali.

 

Manusia yang nyata baik dan mulia sekeliber Kanjeng Nabi Muhammad saw. saja tak sedikit yang membenci. Artinya, manusia tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang seluruh manusia minta. Ada kekurangan yang tidak bisa ditambal untuk soal ini. Barangkali cerita Lukman al-Hakim yang masyhur bersama anaknya soal menaiki keledai cukup untuk membuktikan susahnya menuruti keinginan manusia.

 

Masalahnya, ada banyak orang yang telah merasa berada di dalam tingkatan yang terlampau tinggi untuk sah menentukan hakikat baik-buruk seseorang dari sudut pandangnya. Jika sesuai dengan karakternya, maka baik. Jika tidak sesuai dengan karakternya, maka buruk. Na’asnya, ini sering menyeret banyak orang untuk mengamini dengan apa yang diujarkannya mengenai orang lain.

 

Barangkali kita perlu memastikan beberapa hal yang menjadi iktikad seseorang. Sebab terkadang seseorang telah berusaha sebisanya untuk menjadi orang yang bisa membahagiakan orang lain dan tidak menyakitinya ketika berinteraksi. Namun penerimaannya terkadang berbeda. Selalu ada yang kurang dan terkadang bahkan digunjingkannya ketika bersama orang lain. Padahal manusia punya PR besar berupa keterbatasan pengetahuan tentang orang lain. Orang yang kita anggap malas, misalnya. Ternyata di balik itu ia melakukan berbagai hal besar yang menguras tenaga ekstra melebihi energi yang dikeluarkan oleh orang yang dianggap rajin. Tapi ketidaktahuan di balik itu membuat orang tersebut kita stigma dan kita cap buruk sebab keterbatasan pengetahuan kita. Kekurangan kitalah yang membuat mereka tercap buruk.

 

Itulah, betapa repotnya menjadi manusia yang berusaha membahagiakan manusia dengan menjadi manusia yang manusia minta. Keruwetan terjadi  karena manusia punya sudut pandang dan pikiran yang beragam dan bermacam-macam. Maka -barangkali- dari itulah, agama kemudian menyuruh untuk melakukan segala sesuatu hanya untuk Alloh saja, tanpa ada keinginan untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Tidak ada tendensi orang akan memuji atau tidak. Ukuran apa yang dilakukan adalah Alloh ridlo atau tidak, Alloh suka atau tidak, Alloh berkenan atau tidak. Kacamata yang digunakan adalah kacamata kebaikan menurut apa yang Alloh anggap baik berdasarkan ajaran agama yang dianut.

 

Masalahnya adalah, sudah terlampau banyak pandangan mengenai ajaran agama yang kemudian mengkotak baik dan buruk dari perspektif masing-masing. Berasal dari akar yang sama, tapi menumbuhkan buah yang berbeda. Perkara ini yang kemudian menjebak orang menjadi berusaha berada dalam posisi baik di mata orang menurut perspektif orang tersebut. Tentu juga berlaku untuk definisi dan klaim buruk seseorang di mata orang tersebut pula. Kebenaran dan kesalahannya menjadi bias.

 

Pada akhirnya, pilihan kita harus dikukuhkan dengan kuat untuk tidak terombang-ambing dalam berbagai perspektif. Tidak menolak dan menjelekkan ajaran yang ada kemungkinan benarnya, tetapi tidak menjadikan apa yang dilakukan kemudian menjadi berdasar baik-buruk, benar-salah dari sudut pandang orang lain, demi dianggap benar, dan demi dianggap baik.


Ahmad Yusuf Tamami
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra" fb  
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama