Kesadaran Pekerja


PERCIK.ID- Bagaimana seharusnya seorang pekerja menata kesadarannya mengenai posisi dirinya dengan tempat kerjanya, atau antara dirinya sebagai pekerja dengan pemilik usaha sebagai pemberi kerja?

Satu sisi, memang sebagai pekerja ia digaji, diberi tunjangan, fasilitas, dan mungkin juga ada beberapa yang diberi tambahan kelengkapan jaminan kesehatan, beasiswa sekolah anak, bahkan paket liburan dan cuti bersama. Ringkasnya, dengan itu semua, seolah terjamin kebahagiaan dan kecukupan hidup pekerja yang secara langsung tampak diberikan oleh perusahaan.

Siapa orangnya yang tak senang dengan keterjaminan macam itu? Bahkan, siapa orangnya yang rela kehilangan kondisi atau keadaan yang serba nyaman dan enak seperti itu? Jarang, atau hampir nggak ada deh kayaknya.

Kalau merujuk pada tata aturan hukum formal yang berlaku, hubungan antara pekerja dan pemberi kerja sebenarnya bukanlah hubungan superior-inferior, melainkan partnership yang saling membutuhkan satu sama lain. Bahwa pekerja dibayar (gaji), atau diberi berbagai macam fasilitas, itu karena pekerja juga ‘menjual’ jasanya pada pemberi kerja atau perusahaan. Sebaliknya, pemberi kerja juga berhak atas performa pekerjanya atas biaya yang telah dibayarkannya tadi.

Tapi apa ya ada pegawai yang sadar hubungan seperti itu? Memangnya berani kalau bos bilang bahwa dialah yang paling berjasa dalam kemajuan perusahaan, lantas ada pekerja yang seketika mengatakan, “Wah ya jangan gitu Pak, ini kan kerja bersama. Sampean berpikir dan membayar, kita yang eksekusi. Tanpa orang eksekusi, perusahaan nggak kemana-mana, lho Pak..” Berani?

Mungkin ada yang berani, tapi yang paling sering terjadi adalah ‘iya-iya aja’, menyetujui perkataan gumedhe bos itu, sambil diam-diam nggrundel di belakang. Sesuatu yang justru menjadi racun untuk perusahaan itu.

Suatu ketika, terdengar oleh saya dialog yang cukup menarik antara dua orang pekerja, yang tampak senior dan penuh wibawa, dengan seorang anak muda, yang sambil malu-malu tapi menyimpan bangga.

“Harus menunjukkan yang terbaik lho Mas! Disini harus bisa berkompetisi, secara konstruktif!”
“Yang rajin, sregep, telaten. Jadi sampai tua nanti, bisa terus dipakai seperti saya.”

Dari sana tampaknya saya harus segera membatalkan harapan-harapan saya akan sosok pegawai atau pekerja yang berkesadaran untuk membangun hubungan presisi dengan perusahaan. Sebab memang, para pekerja itu sedang dalam usahanya menjaga keseimbangan kehidupan yang telah selama ini sudah berjalan.

Tapi pemetaan kesadaran manusia yang bagaimana sih yang bisa bilang ‘agar dipakai’? Apa kira-kira pesan yang ingin dinasehatkan pegawai senior tadi? Bukankah keterpakaian itu predikat yang kita alamatkan pada obyek atau barang atas fungsinya terhadap subyek tertentu?

Semisal manusia memakai pisau untuk mengupas kulit buah mangga. Jelas siapa subyek dan obyeknya; siapa memakai apa. Lantas, siapa sebenarnya subyek atas manusia yang selalu berharap ‘agar dipakai’ hingga usia tuanya itu? Kenapa hubungan keduanyanya menjadi sangat jauh sekali dari fitrah partnership yang dicanangkan oleh Kemnaker, umpamanya.

Diluar dugaan, si anak muda, sahabat saya tadi, yang dinasehati oleh si pekerja agar turut mengikuti metode, jurus, dan tips agar bisa menjadi sepertinya, ‘awet terpakai’ oleh perusahaan bonafide itu, justru diam-diam membisik-i saya dengan response yang berbalik arah.

“Trimo ng omah ae. Lapo dadi iwak-iwakan! Koyo kelinci, dikongkoni mrono mrene.”

Sebuah ekspresi kebebasan khas anak muda yang bisa kita nilai sebagai penolakan atas ‘penindasan kapitalisme’, atau mungkin juga kita todong sebagai bentuk kemalasan pada pengorbanan. Namun pastinya, pilihan itu jelas tidak populer untuk calon mertua dan kalangan manusia modern berkemajuan pada umumnya.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama