Rehat: Mengapa Saling Cinta Tak Membuat Bersama, Padahal Hujannya Tak Pernah Reda

PERCIK.ID- Seorang laki-laki duduk termangu di depan rumahnya sembari memejamkan mata. Di tangan kanannya sebatang rokok yang sejak menyala baru sekali dihisapnya. Tangan kirinya memutar handphone bergambar buah bekas gigitan. Pikirannya memutar memori masa lalu sekaligus menerawang masa depan.

Apa yang telah dan akan terjadi dengan apa yang kini ia alami?

Lika-liku soal asmara sudah hampir khatam ia tunaikan. Tak kurang laki-laki yang lahir bersamaan dengan bulan dan tahun kematian Audrey Hepburn itu untuk perkara-perkara berkenaan dengan hati.

Ditumpas dan disayat berkali sudah ia jalani, tapi mencintai jelas tak bisa digilas hanya karena berkali-kali kandas.

Sayangnya kali ini berbeda. Keadaannya bukan karena komitmen satu sama lain yang gugur, tapi soal orang lain yang membuat mereka tak bisa menyatu. Kekasihnya jelas dengan tegas berkomitmen untuk bersama, tak ada keraguan. Sang laki-laki apalagi!

Ia merenung dan berkata dalam hati, "yang menumpas kandaskan cinta ternyata bukan karena salah satu menyerah berjuang, tapi juga karena keadaan yang disetting tidak mungkin bisa bersama."

Itu yang ia alami kini. Cinta sudah menautkan keduanya, tapi ternyata saling cinta tidak begitu saja membuat bersama, meski sesungguhnya hujan cinta mereka tak pernah reda.

Ia kutip qoul Cupatkai berkali kali di dalam hati, "beginilah cinta, deritanya tiada akhir."

Beginikah?

Jelas ia ingin tak yakin. Tapi masa lalunya malah semakin meyakinkannya. Kapan cinta bisa bersama kalau begini keadaanya?

Dalam perenunangannya itu, ia buka matanya.  Layar handphone ia nyalakan, tak ada pemberitahuan. Rokok di tangan kanannya ia pandang, sudah tinggal sekali hisapan.

Ia beranjak dari tempat duduk ingin beristirahat di kamar. Tiba-tiba suara "ting-ting" menghentikan langkahnya. Bakul kacang koa menjajakkan dagangannya di jalan depan rumah. Reflek gerakannya membuat tubuhnya berbalih arah. Ia keluar, rasa-rasannya kacang koa makanan hangat yang tepat untuk pikiran yang penat. Tak banyak pikir, ia pesan satu mangkok besar. 

Dengan sigap, pedagang kacang koa yang sudah berpengalaman di bidang per-kacang koahan selama bertahun-tahun itu menciduk dagangannya. Tapi na'as, kacang koa jualannya masih belum panas.

"Waduh, belum panas, Mas. Saya cek dulu," ujar penjual kacang koa membuka pintu kotak kompornya.

"Wah, mati ternyata apinya," jelasnya kepada laki-laki muda berbadan tambun itu.

Pedagang kacang koa mengeluarkan korek dari sakunya. Laki-laki itu heran dan segera bertanya,

"Lo, masih pakai kompor, Pak"

"Iya, Mas. Saya suka kompor tua begini. Meskipun biaya agak mahal sedikit, yang penting sreg."

Laki-laki muda yang pening pikirannya itu manggut-manggut asal saja. Tak ingin menambah pikirannya yang sudah terlalu diforsir untuk menuntaskan masalahnya sendiri.

Tak sengaja, ia lirik korek pedagang kacang koa, ada tulisan Zippo. Jelas itu membuatnya heran, pedagang kacang koa, berkompor konvensional, tapi dinyalakan dengan korek elegan Zippo.

"Koreknya Zippo, Pak?"

"Iya, Mas. Sudah saya pake luuuama ini, Mas. Kenangan dan bersejarah."

"Kenapa nggak pake korek biasa saja?"

"Entah mas. Kacang koa saya ini murah mas. Tapi saya kok merasa kacang koa yang saya jual ini istimewa. Lebih tepatnya, ingin istimewa. Sesuatu yang istimewa, harus dinyalakan dan diawali dengan yang istimewa. Maka dari itu saya pake Zippo, Mas"

Pedagang Kacang Koa membeberkan dengan jlentreh apa yang menjadi pertanyaan laki-laki muda itu. Lugas, jelas, dan masuk akal.

Laki-laki muda itu kini mengamati tulisan di gerobak kacang koa. "Wasilah Rejeki".

Istimewa benar bapak ini. Sepertinya ia bukan pedagang biasa dan tak sembarangan menjual. Mungkin ada banyak hal istimewa lain yang tak ia tunjukkan sebagai kebesaran diri. Ia rela seperti ini sebagai pilihan hidup, bukan hanya sekadar tuntutan belaka.

Sibuk ia merenung, kacang koa sudah disodorkan di depannya. Ia pun segera membayar dan mengucapkan terima kasih. Tak sabar ia ingin menikmati kacang koa yang katanya istimewa tadi.

Dan benar, tak bisa ia pungkiri, kacang koa ini berbeda. Rasanya jelas istimewa dan pasti bukan kacang koa sembarangan.

Suapan demi suapan membuatnya semakin bersemangat. Ada energi baru yang membuatnya tak bisa terus-terusan terpuruk. Kacang koa membuatnya menjadi manusia yang seolah berbeda. Ia menjadi lebih dingin dan tenang.

Sambil mengunyah kecang koa, tak ragu ia mengacungkan jempol ke kamera dan berkata, "Kacang Koa Wasilah Rejeki, Menenangkan Manusia-manusia sakit hati"

 

-----

Ini sekali lagi contoh iklan yang bisa divisualkan. Kacang Koa bisa diganti dengan produk yang lain.


Sekali lagi, Ini hanya contoh.


Ahmad Yusuf Tamami Muslich
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra"fb  
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama