Tarif-Tarif Pengobatan

PERCIK.ID- Seorang tetangga bolak-balik menceritakan kisahnya saat berkelahi argumen dengan dokter yang profesor. Barangkali karena titel tingginya itulah adegan engkel-engkelan menjadi sangat membekas buatnya dan terus menerus ia ceritakan pada saya.

Dan, saya pun tak pernah menolak menerima cerita itu. Meskipun, ya, saya sudah tahu persis plot dan ending ceritanya bagaimana. Kan ndak pantes orang sepuh yang semangat sekali berkisah lalu saya patahkan begitu saja, “Pak, itu sudah sampean ceritakan sembilan kali lhoo..” Ah, saya kok ndak tega.

Ia kisahkan, ketika itu mengantar Mamanya (ya, Mama adalah diksi yang selalu ia pakai untuk menceritakan tentang ibunya, yang buat saya terasa aneh karena orang setua dia menjadi seolah seperti anak-anak) berobat pada dokter tadi. Singkat cerita, ada tindakan operasi yang harus segera diambil untuk mengetahui secara pasti penyakit yang dideritanya.

“Mamaku musti di-endoskopi. Omong-omongan awale enak, Nggar. Aku bilang, ‘Oke, dok’.”

Keriuhan seketika pecah hanya karena tetangga saya tadi, menanyakan masalah tarif atau biaya endoskopi yang harus dibayarnya. Barangkali karena terlalu mahal buatnya. Eh lhadalah, sang dokter ngamuk!

“Sudah kalau tidak mau, tidak usah dilakukan!”

Suara meninggi dari sang dokter yang tiba-tiba itu tak hanya mengagetkan tetangga saya, namun malah memancing emosi yang juga segera berkobar.

“Oke!” jawabnya sambil membuang panggilan ‘dok’ sebelumnya selalu sematkan pada ucapannya.

Adegan yang kalau misalnya terjadi di film-film, tentu saja akan terlihat wagu, karena plot-nya seolah meloncat dan tergesa-gesa. Tapi toh tetap saya biarkan saja. Mungkin beliau ingin meringkas kisah yang terlalu kompleks untuk ia ceritakan setiap detail sudutnya.

Ending cerita beliau berakhir dengan cukup unik, karena ketika ia hampir membawa si Mama untuk pindah rumah sakit, tiba-tiba seorang suster memanggil tetangga saya tadi dan menyuruhnya masuk lagi ke ruangan sang dokter.

Aku mlebu gak atek ketok pintu. Bludus langsung ae,” ceritanya masih dengan berapi-api.

“Ada apa dok?!”

Sang dokter masih sedikit emosi, namun tak sekeras sesi sebelumnya. Perdebatan masih ada, tapi lebih kalem. Hingga kemudian, tiba-tiba sang dokter berdiri.

Tak kiro aku arepe dikepruk aku Nggar. Wis siap aku nek ancene kudu jotos-jotosan!”

Pada bagian ini, nuansa cerita beliau seolah mencapai klimaksnya. Saya pikir akan ada sesuatu yang benar-benar memuncak keseruannya. Tapi rupanya, pak dokter melakukan hal yang sama-sama tak pernah ia duga.

“Sudah, enam ratus ribu saja,” ucapnya lirih sambil berbisik di telinga tetangga saya.

Juan…k, patang juta lho dadi nematus ewu!! Bayangno, Nggar!”

Iya pak tua tetangga saya itu misuh. Dan saya maklumkan pisuhan itu karena mungkin saya pun akan melakukan hal serupa jika dalam posisi yang sama. Lha gimana, harga empat juta kok drop-drop-an sampai enam ratus ribu.

Cerita berakhir dengan eksekusi endoskopi, namun tak pernah jelas secara pasti apakah penyakit mama beliau benar-benar berhasil sembuh atau tidak. Saya tak mau mengorek masalah itu.

Kemarin, cerita soal tarif-tarifan begini saya dapati juga ketika saya sendiri menjalani terapi bekam. Tenang, jangan berpikiran terlalu jauh! Alhamdulillah saya nggak sakit yang aneh-aneh. Hanya kolesterol yang ketinggian karena kebanyakan makan babat dan ngemil gorengan.

Karena tak ada informasi pasti mengenai tarif sang terapis, maka saya berusaha mencari informasi mengenai berapa pantasnya saya bayar jasa yang beliau berikan pada saya. Obrolan saya putar-putar, saya tikungkan kanan kiri, mencari analogi dan memancing cerita-ceritanya agar tau bocoran biasanya ia dibayar berapa.

Anda harus tau jawaban beliau yang malah bikin saya makin kewalahan.

“Syarat pengobatan supaya sembuh, harus ikhlas dua-duanya, Mas. Yang ngobati harus ikhlas, yang diobati juga harus ikhlas. Jadi saya nggak pernah narif buat buat gini-ginian, Mas.”

Rupanya ia memang memiliki prinsip dagang yang tidak umum.

“Mau dikasih berapa saja saya oke. Ndak dikasih pun saya pernah. Yang penting orangnya ikhlas, Mas. Karena urusan saya, ya ikhlasnya saya itu. Kesembuhan dia, bergantung pada keikhlasan dia sendiri atas pengobatan ini.”

Mak jleg! Kebingungan saya paripurna. Berapa ukuran ikhlas buat saya? Lha wong ikhlas itu yang seperti apa rasanya, seringkali meleset saya artikan je.

Selesai sesi bekam, kami nyantai di teras rumah. Ngeteh, ngerokok bareng, dan melanjutkan tukar cerita. Padanya saya selipkan sedikit uang. Sebagai tanda terima kasih saja, bukan untuk membayar biaya jasanya, karena toh ia sudah ikhlas.

Kepadanya, tak saya ceritakan soal dokter yang professor di atas. Diam-diam, saya hanya berharap semoga suatu ketika pak dokter tadi bekam pada orang ini dan bisa mendiskusikan mana yang lebih presisi kebenaran masalah tarif pengobatan.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama