Menjangkau Tuhan dalam Dekat

PERCIK.ID- Alloh sangat mesra saat menjelaskan pola interaksi dengan manusia. Alloh bilang, Ia dekat. Sangat dekat malah. Ia gambarkan, dengan retorika yang rada-rada hiperbolis dengan ungkapan; "lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya".

Sebagai manusia yang mengaku-aku sebagai hambaNYA, ungkapan Alloh yang mesra itu bikin GR dan senyum-senyum sendiri. Meskipun itu tak kemudian menjamin positioning perasaan yang sama dari saya kepadaNYA.

Habis gimana lagi, Alloh bagiku lebih sering terasa jauh. Yang nyata dekat ya Ustadz, Mbah Yai, para penceramah penganjur kebaikan, dan segala mereka-mereka yang, entah sengaja atau tak sengaja, saya taruh pada jarak di antara saya dan Dia.

Tentu saja saya perlu sadar diri bahwa dengan segala kompleksitas kondisi dewasa ini, saya amat perlu menemukan jalur yang benar agar sambung kepada Alloh tadi. Dan untuk menyusuri jalur itulah, saya perlu mendaki melalui ‘tangga-tangga’ sanad yang sambung hingga RosulNYA demi ketepatan hidup yang baik dan barokah.

Hanya kemudian yang menjadi soal adalah, suara-suara mereka seringkali lebih saya utamakan ketimbang  suaraNYA, apalagi lha kok ‘hanya’ Kanjeng Nabi Muhammad saw. Kebenaran mutlak dari Alloh dan Rosululloh menjadi samar-samar tertutupi, atau bahkan lama-lama tak kusadari lagi sebagai pangkal dan ujung segala hal.

Alloh dekat, tapi aku merasa masih butuh dipersambungkan denganNYA melalui para manusia suci, entah dari fatwa-fatwanya, ujarannya, atau sekadar dari pilihan dan sikap-sikap hidup yang mungkin bisa kucontoh. Akulah manusia yang boleh jadi tak menghargai posisi kedekatan yang Alloh tawarkan.

Tak kupahami kemungkinan pola interaksi denganNYA kecuali sebagai pihak ketiga atau kedua saja. Padahal kedekatan dan keintimanNYA berarti Alloh juga memposisikan diri menjadi pihak pertama dalam diri setiap manusia.

Taruhlah misalnya, Alloh bilang, "Qul Huwallohu Ahad". Dalam satu kalimat ini, Alloh berposisi sebagai pihak ketiga ketika hamba mengatakan 'Allohu Ahad'. Ya kan? Sesaat di dalamnya, kita bersama-sama ngrasani Alloh dengan menyatakan bahwa Ia Tunggal.

Ada juga kemungkinan lain bahwa Alloh berposisi sebagai pihak kedua, misalnya saja, pada saat sedang sholat dengan segala bentuk gerakan, bacaan, dan kesadaran ruhani pelakunya. Didalamnya, para pelaku sholat sedang adep-adep-an denganNYA. Bahkan, utamanya dalam do'a -yang aslinya adalah berupa sapaan, ketimbang permintaan- Alloh adalah 'lawan bicara' yang ada diluar diri manusia, alias, sekali lagi, pihak kedua.

Alloh sebagai pihak pertama, sebenarnya amat sangat mungkin kita temui dalam kesadaran risalah Nabi Muhammad saw. Beliau, misalnya, berdo'a dengan dialektika yang sungguh indah: "Ya Hayyu Ya Qayum, birohmatika astaghits, wa aslihli sya'ni qullahu, wa la taqilni illa nafsi thorfata aini"

Do'a ultimate tersebut, sebagai bentuk penyapaan (tanpa suruh menyuruh) dan permohonan pertolongan, dipungkasi dengan penyerahan total dari Baginda Rosul kepada Alloh untuk meng-handle hidup beliau, untuk tidak dilepaskan barang sedetikpun, bahkan sekejapan mata sekalipun.

Buat Kanjeng Nabi, Alloh lah pemeran utama dalam kehidupannya, Alloh lah yang menata, mengarahkan, menjaga, memberi, dan semua soal didalamnya. Seolah, pada saat yang sama, Rosul merasa ia tak mampu apa-apa, padahal apa yang tak mungkin bagi kekasih Alloh ini?

Artinya Alloh-lah pihak pertama, yang tak lagi berjarak dengan hamba. Belum mampu kuselami kesadaran yang menjadi pintu kebersatuan denganNYA, nyawiji, manunggaling kawula Gusti, atau -dengan bahasa agama kita kenal dengan istilah tauhid ini.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama