Akal Sebagai Hakikat Kehidupan

 

PERCIK.ID- Akal adalah hakikat kehidupan. Ruh menjadikan manusia bernyawa, tapi hakikatnya akallah yang menjadikan manusia dianggap hidup secara hakikat.

Pencarian dalam kehidupan tidak akan berakhir dari mulai bayi precet sampai dikalang tanah. Intuisi manusia diciptakan secara kodrati pada pencarian terhadap kebutuhan yang menjadikan bertahan hidup. Bayi ketergantungan pada ASI dan mencari-carinya dengan menangis, misalnya. Tentu kecuali orangtua memilihkan subtitusinya dengan susu sapi. Pada intinya tak ada manusia yang tak melakukan pencarian.

Dalam bahasa yang lebih religius, pencarian itu dimulai dengan pengetahuan dan diakhiri dengan pengetahuan. Bahkan sebelum lahir precet pun pencarian sudah dimulai, “dari dalam kandungan, sampai ke liang lahat.” Pengetahuan tentang kebutuhannya pada bagaimana hidup dalam perut dan menangkap akses pengetahuan yang dikirim dari luar perut, serta pengetahuan tentang apa yang akan dihadapi pasca kehidupannya tutup buku.

Perjalanan manusia memang sejak mula dimulai dengan “bagaiamana” untuk menemukan sebuah jawaban. Manusia mencari “bagaimana” pada segala sesuatu untuk menemukan apa yang mesti dilakukan. Bagaimana kok begini? Bagaimana caranya menyelesaikan masalah ini? Serta “bagaimana-bagaimana” yang lain. Bagi orang yang berakal, bagaimana adalah pertanyaan yang menandakan bahwa ia berpikir dan hidup. Keinginan penemuan atas pertanyaan bagaimana tidak lain adalah untuk menemukan jawaban Oh, begini”, “Oh, caranya seperti itu”, dan “Oh” yang lain.

“Oh” adalah ungkapan penemuan atas pencarian berpikir yang diwakili dengan “bagaiamana”. Keduanya adalah contoh pencarian dan penemuan dalam kehidupan yang tidak akan pernah alpa, meski barangkali pada sebagian orang ungkapannya tidak menggunakan keduanya.

Tapi memangnya manusia macam apa yang tidak pernah berpikir “bagaimana”. Bahkan anak kecil nekeran pun pernah mengawali pernekarannya dengan “bagaiamana” cara ngitis. Kemudian berlanjut dengan “bagaimana ngitis yang efektif dan efisien, hingga “piye toh” cara kalah yang tapi tidak usah ngisin-ngisini.

Sesederhana itu. Tapi toh itu juga bagian dari akal yang berpikir. Untuk orang dewasa jelas “bagaimana” nya jauh lebih jlimet dan kompleks. Maka energi dan kalori yang dibutuhkan juga lebih banyak. Itu pula dalih ilmiah nan saintifik kenapa orang dewasa kebanyakan makan dengan porsi lebih banyak daripada anak kecil selain alasan klasik “karena wadah perutnya lebih besar”.

Pada pembahasan yang lebih serius nan islamis, akal adalah hakikat kehidupan. Ruh menjadikan manusia bernyawa, tapi hakikatnya akallah yang menjadikan manusia dianggap hidup secara sempurna. Ini ditunjukkan dengan seseorang telah dianggap masuk dalam ranah taklif (mendapat beban hukum) ketika akal dan pemahamannya berfungsi. Meski secara syariat atau umur ia sudah baligh, tapi ternyata akalnya tidak berfungsi, ia tidak terbebani hukum (terkena taklif). Maka penentuan apa yang akan dipertanggungjawabkan dalam kehidupannya adalah ketika akal berfungsi. Tanpa itu, taklif belum dimulai dan tidak dianggap hidup “secara hakikat”.

Maka syarat “sah” dalam ibadah pun juga selalu ditentukan dengan syarat berakal. Kok begitu, bahkan tidur pun seseorang tidak kena taklif karena akalnya tidak berfungsi sempurna. Lakok katakanlah menjotos teman di sebelahnya ketika tidur, itu tetap tidak dosa. Tentu menjotos yang benar-benar tidak dalam sadar dan tidak dibarengi dengan dendam kesumat yang menyala-nyala karena kalah saingan berebut gadis tetengga desa.

Selain diawali dengan akal mulai berfungsi untuk bisa membedakan salah-benar, baik-buruk untuk masuk pada ranah taklif, tercabutnya taklif juga ditentukan oleh akal pula. Ketika seseorang hilang akal alias gila permanen, maka ketika itu pula taklif hukumnya berakhir. Perhitungan baik-buruk amalnya terhenti sampai pada waktu ketika ia mulai gila tanpa harus mempertanggungjawabkan nyawa selanjutnya yang masih ada.

Jika akal ditinjau dari segi fungi, jelas lebih kompleks lagi. Sebab al-Qur’an berulang kali menyebut akal, baik dari bentuk sebagai wujud maupun aktivitasnya.

Bukankah banyak manusia yang telah meninggal seolah masih hidup dengan tetap dikenal dan bermanfaat hingga sekarang sebab ia memfungsikan akalnya? Dengan akalnya, ia menembus batasan nyawanya untuk tetap hidup dan ada.

Maka tepat rasanya untuk menganggap bahwa akal adalah hakikat kehidupan. Ruh menjadikan manusia bernyawa, tapi hakikatnya akallah yang menjadikan manusia dianggap hidup secara hakikat.

Ahmad Yusuf Tamami 
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra" fb  
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama