Cerita dari Santri Gus Baha'

PERCIK.ID- Sekitar tahun 2012, saya mengikuti pengajian rutin Gus Baha’ Tafsir Jalalain setiap Sabtu terakhir di Balen, Bojonegoro. Karena jam pengajiannya siang dan sekolah juga masuk siang, maka saya sering mbolos sekolah untuk datang ke pengajian beliau. Salah satu teman berangkat ke pengajian di Balen akhirnya berangkat mondok ke Gus Baha’ di daerah Narukan, Kragan, Rembang. Ia mondok ke Gus Baha’ berbarengan dengan saya berangkat ke Surabaya.

Ketika itu, Gus Baha’ belum setenar sekarang. Beliau mengaji di musholla kecil yang tidak bisa menampung lebih dari 100 orang, itupun tidak berjubel dan biasa saja. Jelas sangat berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. Di mana beliau hadir, tentu akan didatangi banyak orang dan berjubel.

Sebelum berangkat ke Surabaya, teman saya itu pernah mengajak saya ke Pondok Gus Baha’ di Narukan untuk mengikuti haul abah beliau, KH. Nursalim. Dari situ saya tahu dua gotak kamar yang ketika itu hanya berpenghuni 11 santri. Bangunan memang tampaknya akan dibangun tingkat, tapi belum mewujud bangunan.  Di dekat kamar santri ada makam KH. Nursalim.

Bayangan mengenai kealiman Gus Baha’ seperti tidak sinkron, pikir saya ketika itu. Beliau yang ‘alim tentu semestinya memiliki jumlah santri yang lebih banyak dari itu untuk membangun kader berkualitas. Bagi saya itu sangat mengecewakan, sebab jika terus demikian, betapa akan sedikit sekali yang menyecap ilmu beliau yang begitu luas.

Tapi untuk mengademkan hati saya, saya mencoba membuat alasan-alasan sendiri. Misalnya memang beliau tidak mau menerima banyak santri agar gemblengannya lebih maksimal.

Setidaknya itu alasan yang bisa ajukan sebab berkaca dari Abuya Miftahul Luthfi Muhammad di Pondok Pesantren Tambak Bening yang juga tidak berkenan menerima banyak santri demi efektifitas pendidikan.

Dalam kesempatan haul ketika itu, kami bisa melihat ruangan belajar beliau ketika -seingat saya- jama’ah dari Bojonegoro “ditakzir” karena membangun mushollanya tanpa ada urgensi dan kebutuhan yang bisa dijadikan alasan. Beliau kemudian memberikan wejangan betapa kemegahan beberapa masjid atau mushola terkadang berlebihan. Bahkan terkadang kemegahan masjid tidak berbanding lurus dengan tasaruf yang diberikan kepada orang-orang sekitarnya.

Di ruang belajar beliau, kitab-kitab berkeliling menempel di hampir seluruh tembok ruang belajar beliau. Buku-buku juga bertumpuk di meja beliau. Barangkali buku-buku itu yang sedang beliau pelajari.

Ketika pulang kemarin, saya berkesempatan bertemu lagi dengan santri beliau yang dulu berangkat bersama-sama ketika rutinan di Bojonegoro. Kini ia sudah boyong, sudah menikah dan sudah beranak satu. Ketika saya tanya berapa tahun di sana, ia menjawab tidak ingat dan tidak pernah mengingatnya. Berangkat dan pulangnya juga tidak berusaha ia ingat tahunnya.

Di jamannya, santrinya hanya 9 orang. Sekarang katanya sudah sekitar 500 santri dengan gedung yang jelas juga sudah semakin bertambah. Ketika saya tanya, “Sering sowan ke sana atau tidak?” Ia menjawab tidak pernah.

Kemudian ia menjelaskan bahwa ia tidak pernah sowan karena akan mengganggu waktu beliau yang padat untuk muthola’ah berbagai kitab. Prinsip itu sama persis dengan apa yang sering beliau utarakan, agar tidak banyak orang bertamu karena akan mengganggu waktu belajar beliau. Sebagai santri, ia jelas sangat paham dengan prinsip gurunya tersebut. Maka ia mengaku tidak pernah sowan.

Tapi, meski demikian, ia sering datang ketika waktu pengajian bersama dengan santri mukim yang lain. Ia datang untuk ikut mengaji, tanpa ada tendensi untuk sowan dan mengobrol dengan alasan takut mengganggu tadi. Meskipun ia juga mengaku pernah sowan sekali, itupun karena terpaksa. Ada salah satu santri dari Habib Dawud Asseggaf yang ingin nyantri di sana. Karena mendapatkan mandat untuk memasrahkan, akhinya ia “terpaksa” sowan kepada Gus Baha’.

Mengenai sistem pembelajaran -karena ketika itu santrinya hanya sembilan- maka semua setor langsung kepada Gus Baha’.

“Berapa kali sehari?” tanya saya.

“Kira-kira seminggu tiga kali,” jawabnya.

Saya agak kaget, karena sebagai pondok al-Qur’an, setor seminggu tiga kali jelas waktu yang terlampau lama untuk setoran hafalan. Di pondok lain barangkali bisa 1-2 kali sehari. Belum lagi dengan kenyataan bahwa ternyata tidak semua kebagian waktu setoran. Terkadang Gus Baha’ baru menyimak tiga santri, kemudian tiba-tiba beliau sudahi dan beliau tinggal.

Menurut penuturan teman saya tadi, jika beliau sudah seperti itu biasanya karena tidak kuat. Bukan tidak kuat masalah lahiriyah, tapi batiniyah. Ia menyebutnya dengan istilah wushul. Sebab Gus Baha’ pernah dawuh kepada para santrinya, bahwa sesungguhnya beliau sudah mencoba untuk menurunkan kadar wushul ketika mendengar al-Qur’an. Tetapi ternyata kadar wushul tidak bisa dihilangkan sama sekali sebab itu merupakan anugerah yang diberikan oleh Alloh. Tidak bisa dipaksa dan tidak bisa dihilangkan.

Ada hal lain yang ia ceritakan mengenai Gus Baha’, yakni prinsip beliau yang begitu kuat. Misalnya soal membangun pondok. Dalam cerita teman saya, di jaman ketika masih menjadi santri di sana, banyak sekali orang yang datang untuk menawarkan diri membangun pondok beliau. Tapi beliau selalu menolaknya dengan alasan yang jelas beliau lebih tahu. Hal tersebut terjadi berulang-berulang. Sampai-sampai ada yang datang dengan membawa besi yang sudah diram agar Gus Baha’ bersedia pondoknya dibangun. Tapi beliau tetap saja tidak berkenan untuk dibangun.

Kekokohan prinsip itu yang luar biasa. Setidaknya saya pribadi juga melihat hal semacam itu di Pondok Pesantren Tambak Bening. Abuya Miftahul Luthfi Muhammad sering sekali ditawari untuk disumbang dalam membangun pondok beliau. Tapi beliau lebih banyak menolak tawaran tersebut daripada menerimanya. Maka sungguh tidak logis apabila ada orang yang mengatakan bahwa Abuya Luthfi sering disumbang oleh pemerintah atau murid-murid beliau yang kini sudah menjadi “orang besar”. Beliau sangat-sangat berhati-hati soal pemberian uang kepada beliau untuk membangun pondok.

Misalnya pernah suatu ketika ada yang datang membawa karpet agar bisa digunakan di pondok dan dititipkan kepada santri. Belum juga dipasang, beliau mencium bau seperti terbakar. Setelah ditelusuri, ternyata bau itu dari karpet tersebut. Beliau kemudian mengutus santri untuk membakarnya. Tapi kemudian beliau membeli sendiri karpet yang sama persis dengan karpet yang dibakar tadi. Alasan beliau, agar orang yang memberi tadi tidak sakit hati karpetnya tidak dipakai, apalagi sampai dibakar. Setelah itu beliau akan melakukan kedekatan karena ada indikasi tidak beres dengan uang digunakan untuk membeli karpet tersebut.

Selain cerita itu, ada berbagai faktor yang menjadi alasan Abuya Luthfi menolak pemberian orang. Pun tentu Gus Baha’ juga punya berbagai alasan mengapa menolak pondok beliau dibangun. Padahal, cerita teman saya, sudah banyak sekali orang yang menawari untuk membangun pondok beliau.

Pun pula dengan buku beliau, Khazanah Andalus yang beliau terjemah denga Gus Wafi Maimoen. Sebenarnya banyak sekali penerbit yang akan mencetak ulang. Tetapi ternyata beliau tidak berkenan. Alasannya karena orang-orang yang datang untuk menerbitkan selalu berbicara soal keuntungan yang akan didapat jika diterbitkan ulang. Karena alasan yang “sangat duniawi” tersebut, beliau juga berkali-kali menolak penerbit yang datang. Tujuan beliau jelas tidak lagi urusan-urusan yang bersifat materiil dan komersil.

Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan dan ditolong oleh Alloh swt. Ilmunya bermanfaat untuk umat dan bangsa Indonesia. Amiin.

1 تعليقات

أحدث أقدم