Jilbab: Identitas dan Parameter Akhlak

PERCIK.ID- Pakaian merupakan identitas dan penanda paling mudah dan jelas, mata normal akan memindai pakaian sebagai identitas. Melalui pakaian, akan mudah diketahui dan dibedakan siapa dengan siapa. Antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.

Seseorang dengan baju loreng, dilengkapi sepatu kulit yang kaku, dapat dipindai sebagai tentara, atau mereka dengan setelan putih abu-abu akan dikenal sebagai siswa yang duduk di bangku SMA.

Selain itu, pakaian yang melekat pada diri seseorang juga akan memindai kelas ekonomi seseorang tersebut. Orang-orang kaya akan memakai pakaian yang mahal dibanding pakaian yang dikenakan orang dengan ekonomi kelas menengah ke bawah.

Identifikasi pakaian ini juga bisa digunakan untuk memindai agama atau keyakinan yang sedang dianut seseorang. Seorang yang meyakini kristen sebagai agama atau kepercayaan biasanya berpakaian kemeja, pelayan gereja, akan memakai baju khusus, dan itu mudah dikenali sebagai identitas juga.

Begitu pula seseorang yang menganut Islam sebagai agama atau keyakinan, mereka akan menggunakan sarung, jubah, baju koko, kopyah atau peci bagi laki-laki, dan kerudung bagi seorang perempuan.

 

Jilbab dan Aturan Alloh

Jilbab wajib hukumnya dikenakan oleh Muslimah yang telah mencapai usia baligh, sebagaimana firmanNYA dalam QS. Al Ahzab ayat 59.

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Alloh Mahapengampun, Mahapenyayang.” (Qs.al Ahzab [33]: 59)

Hal senada juga dijelaskan dalam surat al Nur ayat 31,

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Alloh, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung” (Qs.an-Nur [24]: 31)

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibunda ‘Aisyah rh.a., Nabi saw pernah bersabda, “Hai Asma!, sesungguhnya seorang perempuan apabila telah dewasa atau sampai pada umur baligh, maka tidak patut bagi dirinya untuk menampilkan ini dan ini. Rosul berkata sambil menunjukkan muka dan telapak tangan.

Dari potongan ayat dan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa Alloh mewajibkan kita sebagai muslimah untuk mengenakan hijab ke seluruh bagian tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan sebagaimana disebutkan nabi saw, sebagai identitas diri, agar kita dikenali sebagai wanita muslimah (sebagai identitas), lebih jauh dari itu, agar kita tidak diganggu.

 

Jilbab dan Akhlak Muslimah

Sebagai wanita muslim, frame yang dilihat lebih dulu adalah bagaimana sikapnya. Bagaimana ia bisa menjaga adab dan sopan santunnya. Sering sekali kita jumpai di banyak media massa,

“Berjilbab belum tentu berakhlak baik, tapi berakhlak baik sudah tentu berjilbab”. Atau begini, “percuma berjilbab, tapi sering melakukan maksiat”. Memaksa dua hal (jilbab dan akhlak) beriringan adalah sorotan yang cukup fatal

Jilbab tidak hanya berlaku bagi muslimah yang sudah baik akhlaknya. Jilbab dan akhlak adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Berjilbab adalah tuntutan kewajiban untuk muslimah yang sudah baligh, sementara akhlak, ia merupakan tuntutan lain yang harus dipenuhi dalam kehidupan sosial.

Ayat Al-Qur’an yang menyebutkan perintah wajib memakai jilbab juga tidak menyebutkan harus lebih dulu baik akhlaknya. Perintahnya berlaku umum tanpa melihat baik atau buruk akhlak si pemakai.

Kalau-pun statement “percuma berjilbab, tapi sering melakukan maksiat” atau “percuma berjilbab tapi akhlaknya buruk” adalah ditujukan dengan maksud “lebih baik memperbaiki diri dulu baru berjilbab” akan membuat wanita muslim yang ingin melaksanakan perintah Alloh merasa pilihannya untuk tidak berjilbab adalah pilihan yang tepat, dan dia jadi merasa benar di posisi yang salah.

Padahal dengan berjilbab, bisa membantu kita memperbaiki diri, jilbab yang dikenakan bisa menjadi alarm otomatis yang menahan diri kita untuk tidak melakukan dosa.

Kalau pun di sekeliling kita masih ada wanita yang berjilbab, tapi tidak selaras dengan ekspektasi kita terhadap akhlaknya, kita harus tetap berbaik sangka kepadanya. Barangkali ia sedang lupa atau dalam keadaan khilaf dan tidak sadar telah berbuat dosa.

Idealnya, kita yang tahu bahwa lelaku perempuan berjilbab itu keliru, kita perlu menegur dan mengingatkannya dengan baik, agar dapat diterima dengan baik. Bukan mengomentari tampilan fisiknya yang tentu saja dapat melukai hatinya.

Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ada di hatinya, kita tidak pernah tahu ke mana mata angin hatinya, condong ke mana hatinya, kita tidak pernah tahu lebih banyak mana shalawat dan istighfar bergema di dada kita atau di dadanya. Kita juga tidak pernah tahu, barangkali ada sesuatu yang memaksa dan mendesaknya, dan ia tidak bisa mengingkari dan menolaknya, dan sebenarnya dia butuh bantuan kita untuk keluar dari perbuatan dosa.

Idealnya, berdo’a adalah lebih dilakukan jika tidak bisa membantu mengingatkan atau secara finansial. Berdoa agar diri sendiri tidak melakukan apa yang kita lihat kurang tepat di diri wanita muslim yang berjilbab tapi belum mapan dalam akhlak. Mendoakannya agar lebih baik lagi ke depannya dan tidak terus melakukan kesalahan yang sama. Sebagaimana sabda Nabi saw. Jika tak bisa bertindak, sampaikan pendapat, dan opsi akhir, jika kamu tak mampu melakukan keduanya, ingkari perbuatan itu, simpan di hatimu sendiri, dan berdo’a.”

Lifa Ainur Rohmah
Mahasiswi STAI Al Fithrah. Santri Putri Ponpes Assalafi Al -Fithrah. Surabaya  fb          

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama