Kholifah di Muka Bumi

 

PERCIK.ID- Mayoritas ulama ahli tahqiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kholifah (wakil) pada di dalam al-Qur’an ialah Nabi Adam as dan dzurriyahnya, sedangkan yang diwakili adalah Alloh ‘azza wa jalla. Yakni DIA menetapkan manusia sebagai kholifahNYA dalam memakmurkan bumi sesuai dengan yang DIA perintah-ridlokan.

DIA menghendaki insting menjadi pengendali dan pengatur keteraturan kehidupan binatang, tetumbuhan dan makhluk lain yang tidak berakal. Insting ini adalah pengganti dari pikiran dan perenungan yang DIA anugerahkan kepada manusia. Jadi, di dunia hewan dan makhluk yang tak berakal, insting merupakan aturan yang menghakimi yang menggiring mereka untuk melestarikan aneka aturan yang telah ditetapkan tanpa melalui kehendak dan kebebasan memilih dan mengatur. Karena itu dalam aturan kehidupan mereka dan hubungan antar mereka nyaris tidak terdapat penyimpangan yang berarti. 

Adapun manusia maka sungguh telah DIA mulia-jadikan pada dirinya lebih dari sekedar insting; yakni DIA anugerahi pemahaman, pemikiran, perenungan, pengaturan dan kebebasan bertindak-laku dan DIA jadikan cakap mengatur segala urusan dan memakmurkan sekaligus mendaya-gunakan bumi untuk memenuhi tuntutan hidupnya. 

Tetapi bagaimana caranya manusia memakmurkan bumi, apa yang menjadi dasarnya, dan apa aturan yang harus digunakan untuk menegakkan hubungan antara dirinya dan sesamanya dan antara dirinya dan makhluk yang lain?

Jawabannya terkandung dalam ajaran ilahiyah yang didawuhkan kepada makhluk pilihanNYA ini melalui para rosul dan nabi yang DIA utus pada setiap jaman. Muatan ajaran ini ialah,

-  definisi tentang hakikat alam semesta, manusia dan kehidupan, sejak awal hingga akhir, - aneka aturan dan syari’at yang seyogjanya dijadikan jalan atau cara terbaik menuju,

-  pemakmuran bumi, 

- penegakan aneka penopang kedamai-amanan di atas bumi, - pemasangan jembatan kasih-sayang di antara indivindu mereka.

Penjelasan ilahi melalui para rosul dan nabi “menganjurkan manusia agar terikat dengan aneka ajaran ini” dan “mengukuhkan bahwa bila manusia menunaikan dan terikat dengan semua perkara ini niscaya  hidup bahagia di dunia-akhirot akan terealisasi baginya”.

Tentang aneka aturan dan syari’at ini penjelasan ilahi menyatakan, 

“Dan Alloh telah meninggikan langit dan DIA meletakkan neraca [keadilan]. Supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kalian mengurangi neraca itu.” (Qs. Ar-Rohmân [55]: 7-9)

Wazan dan mizan (neraca) adalah ungkapan qur’ani tentang aneka aturan untuk membantu manusia di bumi, agar di atas asas aturan tersebut manusia membangun peradaban yang aman nan membahagiakan dan mendayagunakan sebaik mungkin alam semesta yang ditundukkan kepadanya.

Untuk mengukuhkan kehidupan bahagia bagi individu dan masyarakat manusia penjelasan ilahi menyatakan, 

“Sesungguhnya telah datang kepada kalian Rosul KAMI, menjelaskan kepada kalian banyak hal dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan dia ma’afkan banyak (pula hal). Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Alloh, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Alloh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridloanNYA ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Alloh mengeluarkan mereka dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang dengan seizinNYA, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 15-16)

Agar manusia mudah terikat dengan aneka ajaran di jalur pemakmuran bumi, kepadanya DIA tundukkan bumi beserta apa yang ada di atas dan di dalamnya serta planet yang mengelilinginya. 

Agar manusia mendayagunakan semua itu sesuai dengan cara yang diperintahkan, DIA anugerahkan aneka kemampuan yang membedakannya dengan berbagai hewan lain; yang paling nyata ialah,

-  akal berikut cabangnya, yakni ilmu dan kreasi, 

-  perasaan berikut cabangnya, yakni rasa memiliki dan memeroleh segala sesuatu,

-  kekuatan berikut cabangnya, yakni menjaga diri dan apa yang ia miliki.

Sungguh DIA telah dan senantiasa berkuasa menjadikan manusia dapat merealisasikan pemakmuran dan yang lain di bumi melalui paksaan sebagaimana yang diberlakukan terhadap hewan dan makhluk lain, yakni melalui naluri yang bersifat paten. Lalu bumi menjadi makmur berdasarkan cara yang DIA kehendaki tanpa sedikit pun celah maupun cacat. Dan dalam hal itu peran manusia hanyalah pelaksana otomatis, tidak membangkang dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari jalur yang DIA tetapkan.

Tetapi DIA menghendaki menyerahkan urusan ini kepada manusia; DIA beri,

- kemampuan menggunakan pikiran dan jerih payah yang DIA tebarkan pada dirinya,  - pengetahuan tentang metode, aturan  dan sarananya, - kebebas-mampuan mengambil keputusan yang ia kehendaki.

Dengan demikian maka manusia memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan,

- melaksanakan amal yang DIA serahkan kepadanya sehingga bumi termakmurkan dengan kebaikan-kedamaian-keamanan,

- menyalahi ajaran yang diturun-serahkan kepadanya sehingga bumi berubah menjadi tempat bara keburukan dan aneka kekuatan yang saling bermusuhan yang memanen celaka untuk semua manusia. 

Sekarang Anda dapat mengetahui beda antara “jalan yang ditempuh hewan dan makhluk tak berakal lainnya dalam menjaga diri dan menunaikan aturan hidupnya” dan “jalan yang ditempuh manusia ke arah tersebut”.

Hewan-hewan tergiring menuju aturan kehidupannya dengan kendali naluri yang berada dalam kendaliNYA. Sedangkan manusia DIA serahi kewajiban melaksanakan pemakmuran bumi sesuai dengan ajaran yang dikirimkan kepadanya dengan bersandar kepada pengetahuan akal dan berangkat dari kebebasannya dan keputusan ‘azamnya.

Jadi ketika melaksanakan tugas penting ini, manusia melaksanakannya atas namaNYA dan sebagai wakilNYA; yakni karena DIA telah menyerahkan pelaksanaan tugas penting ini kepadanya, bukan karena DIA butuh kepada pertolongannya, tetapi karena DIA memuliakannya dengan tugas yang DIA serah-perintahkan kepadanya.

Jadi itulah hakikat khilâfah yang DIA tetapkan untuk memuliakan manusia dan yang DIA umumkan kepada para malaikat ketika DIA berfirman, “Sesungguhnya AKU hendak menjadikan khalifah di muka bumi".

Khilâfah bukan pertanda  kepergian atau kelemahanNYA. Mahasuci DIA dari hal ini, tetapi pertanda peluhuranNYA kepada manusia. Tidakkah Anda melihat bagaimana di depan tindakan manusia menunaikan tugas mulia ini, DIA tundukkan alam semesta yang berada di sekelingnya dan DIA anugerahkan kepadanya luberan sifat-sifat luhurNYA seperti ilmu, kemampuan dan rasa memiliki? Kemudian tidakkah Anda melihat bahwa ia laksanakan tugas ini atas namaNYA dan sebagai penunaian terhadap perintahNYA?

Wallohu A’lam

Yai Mahsun Maftuhin
Pengasuh Pondok Pesantren al-Ibadah, Kedungjambe, Singgahan, Tuban

Baca Juga:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama