Masih Soal Core Competencies

 

Sebelumnya: Aspek Teknis Abdurrahman bin Auf, Menelusuri Peta Core Competencies

PERCIK.ID Core competencies adalah semacam software, ia tak sekadar latar belakang pendidikan atau pengetahuan, melainkan lebih semacam sepaket kemampuan yang tak benar-benar bisa diterka bentuknya, dikalkulasi jumlahnya, atau ditemukan teori dan ilmunya. Core competencies, boleh dikatakan kepawangan, bukan hanya kepakaran.

Seseorang boleh jadi tahu banyak soal teori bisnis, menjadi pakar atau profesor manajemen, tapi itu semua tak lantas menjamin secara otomatis menghasilkan keuntungan pada potensi-potensi usaha yang menghampirinya. Pada titik ini, bukan lagi keahlian, kepakaran, tapi kepawangan. Barangkali semacam itulah core competencies.

Ia adalah himpunan atas banyak hal: fitrah atau fadhillah atau bakat bawaan orok; pengalaman (keberhasilan dan kegagalan); kemampuan teknis terutama meliputi software-based-skill: berpikir kritis, kedalaman persepsi, sensitivitas pada permasalahan, kecerdikan mencari solusi; kekuatan mental juang, kemauan untuk terus maju dan memberikan yang terbaik, dan seterusnya masih banyak lagi.

Sejujurnya saya sedikit kesulitan menggambarkan core competencies ini, karena bentuknya yang sangat abstrak dan immateriil. Sedetail dan sepanjang apapun tulisan saya, pasti tak akan benar-benar bisa mendeskripsikan apa itu core competencies.

Kepawangan. Keahlian abstrak yang dimiliki seseorang, yang tak bisa kita wujud-wujudkan bentuknya, kita tarik benang merah teori ilmunya, tapi seratus persen kita yakini orang-orang tertentu memilikinya pada bidang-bidangnya masing-masing.

Bangsa Barat mengambil jalan pintas dengan menyebutnya softskill. Lebih direduksi lagi dengan pendefinisiannya pada kemampuan-kemampuan sosial belaka: cara berkomunikasi, kemudahan beradaptasi, dan beberapa indikator kecerdasan sosial lainnya. Saya tidak menolak, tapi menurut saya, itu masih kurang jangkepCore competencies lebih dari sekadar itu.

Atau apalagi cuma latar belakang pendidikan dan jurusan kuliah yang kadang salah tempuh. Latar belakang pengetahuan atau keilmuan lebih berupa function competencies dibanding core competencies. Ia adalah produk yang di-deliver, lebih materiil, lebih wujud. Tapi, sayangnya, tidak selalu menentukan keberhasilan seseorang. Orang boleh berada pada jurusan yang tepat, momentum yang tepat, tapi ketika manusianya tak bisa membaca keadaan, tak siap mental untuk maju, tidak punya militansi, akan percuma juga.

Barangkali untuk memudahkan, kita ringkas core competencies ini dalam istilah yang lebih sederhana saja: cara hidup.

Pernah dengar studi yang mengatakan bahwa 80٪ masyarakat  memiliki jumlah pendapatan yang sama dengan orang tuanya? Ya, tak lain itu karena, disadari atau tidak, mereka meniru bagaimana cara Bapaknya bergaul, bagaimana Ibunya mengatur agenda-agenda harian di rumah, cara mengelola pekerjaan, menempatkan kesempatan, bagaimana melihat uang, dan seterusnya, yang secara keseluruhan membentuk horizon pandang anaknya pada dunia. Bahwa dunia berjalan seperti itu, maka menyikapinya harus begitu itu.

Regardless, si anak sekolah teknik, ia akan tetap menyukai kerja di laut karena Bapaknya adalah nelayan. Tak peduli anaknya sekolah sampai doktor, ia akan terus menerus mencoba melamar pekerjaan sebagai pegawai karena orang tuanya adalah PNS taat. Tak selalu begitu. Hanya kebanyakan. Statistik mengatakan demikian: 80٪

Itulah kenapa, kita tak bisa menganggap remeh anak pengusaha. Mengatakan bahwa mereka enak-enak belaka karena difasilitasi macam-macam sehingga cenderung mudah mencapai kesuksesan. Tuduhan privilege itu monggo saja anda todongkan pada orang-orang tajir tadi, tapi faktanya, tanpa disadari, mereka memang terdidik dalam atmosfer ketajiran itu.

Mereka biasa melihat bapaknya bertemu dengan konglomerat, kadang terlibat ikut bercengkerama, mengalami langsung peristiwa negosiasi di antara canda tawa, merasakan atmosfer kebingungan ketika Bapaknya memetakan potensi versus risiko, curi-curi dengar bagaimana metode mendapat modal yang produktif, dan seterusnya.

Itu, sekali lagi, boleh jadi tak disadari. Tapi kompetensi ini terbentuk secara alami. Ia berkembang, berevolusi, seiring dengan apa yang kita konsumsi dalam pikiran, pengalaman di lapangan, dan fakta-fakta yang terjadi di sekitaran lingkar pergaulan.

Kabar baiknya, seperti halnya Abdurrahman bin Auf yang pada tulisan sebelumnya dijelaskan berani meninggalkan segalanya dan tetap mendapatkan kembali apa yang telah hilang darinya karena, core competencies melekat erat pada pribadi manusianya.

Sedang, kabar buruknya, tak ada mekanisme formal yang dengan sungguh-sungguh menyiapkan manusia untuk menumbuhkembangkan core competencies ini. Jangankan itu, menyadarinya saja tidak. Pendidikan kita masih belum beranjak dari narasi permintaan kebutuhan buruh oleh para pemilik modal.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama