Efek Samping Kemudahan

PERCIK.ID- Baru-baru ini saya menyelesaikan lay out buku Santri Sugih jilid 1 yang ditulis oleh Abuya Miftahul Luthfi Muhammad. Karena saya rasa sudah fix dan segalanya telah siap, maka saya convert untuk kemudian masuk pada tahap cetak. Sebagai informasi, tahap convert adalah tahap terakhir dari lay out buku karena fungsinya hanya sebagai pengunci file agar nantinya tidak berubah atau missing font ketika masuk ke percetakan.

Ndilalah, ketika sudah tercetak ada satu kesalahan besar yang ditengarai oleh faktor kecil. Tulisan hadis bergeser hingga menyebabkan hadis dan makna pegonnya menjadi tidak pas. Saya mengira, pergeseran itu disebabkan oleh wadah tulisan sedikit bergeser ketika mengonvertnya. Tentu itu murni salah lay outer. Dan sebagai penegasan, lay outer itu adalah saya.

Sebenarnya saya sendiri “agak kesal” sebab halaman demi halaman yang diselesaikan dengan baik itu harus ternodai dengan satu kesalahan besar yang ditengarai oleh faktor kecil.

Tapi ada satu hal yang kemudian membuat saya mengambil pelajaran. Bahwa kemudahan selalu meninggalkan efek samping. Kesalahan sebesar itu terjadi bukan karena faktor yang menurut saya besar, tapi hanya karena error progam (selain tentu soal ketelitian).  Dan hal-hal semacam itu juga acapkali terjadi pada kemudahan-kemudahan yang lain.

Misalnya, faktor apa yang menjadikan banyak kecelakaan terjadi? Salah satu penyebabnya adalah adanya error pada kendaraan. Entah rodanya, remnya, mesinnya, atau supirnya. Misalnya supirnya ugal-ugalan atau mengantuk. Lihatlah, kecelakaan di jalan tol terjadi sebab jalannya lempeng hingga banyak orang terlena.

Meski kalau ditarik lebih jauh lagi, faktornya tentu karena alatnya ada. Andaikata sepeda motor, mobil, pesawat tidak ada, tidak pernah tercipta, tentu tak akan ada kecelakaan karena orang memilih jalan kaki. Seugal-ugalannya orang jalan kaki, paling-paling kecelakaannya dadal dungkulnya. Sengantuk-ngantuknya orang jalan kaki, paling banter kecelakaannya nggeblak.

Artinya, segala alat yang sangat memudahkan dan harus diakui sering membantu kita itu juga punya potensi meninggalkan efek samping yang juga tak kalah bahaya.

Atas fakta itu, konklusinya tentu bukan “ayo tinggalkan alat modern” demi lebih safety. Tapi soal pentingnya perhatian lebih ekstra ketika mengoperasikan kemudahan. Sebab setiap kemudahan punya efek samping. Jangan sampai kemudahan itu melenakan diri untuk lalai dari fokus dan waspada.

Termasuk yang juga mesti terus fokus dan waspada adalah soal kemudahan hidup. Segala sesuatu yang seperti tampak lempeng, urusan mudah, sana-sani lancar, semua itu tetap ada warning khusus yang perlu dipasang di otak kita dengan tulisan yang ceta “awas, rawan kecelakaan”. Sebab kemudahan hidup punya efek samping terlena jika datang dari apa yang disebut sebagai istidroj.

Di dalam kitab “Jami’ Karomatil Auliya’” Syaikh Yusuf an-Nabhani menulis bahwa para wali berkata, “seringkali keterputusan dari hadlroh ilahiyyah terjadi dalam maqom karomah.” Secara mudah, karomah di sini sementara bisa kita maknai dengan anugerah khusus yang diberikan oleh Alloh. Dawuh tersebut menkonkritkan fakta bahwa kemudahan punya efek samping. Maka, ada banyak kekasih Alloh yang malah merasa takut terhadap karomah dari Alloh sebagaimana meraka ketakutan terhadap bala’.

Syaikh Yusuf an-Nabhani memaparkan 10 perbedaan antara karomah dan istidroj. Secara definisi, beliau memaknai istidroj dengan “jika Alloh swt. memberikan segala yang ia inginkan di dunia supaya ia semakin menyimpang, sesat, bodoh, dan membangkang, hingga semakin hari semakin jauh dari Alloh. Jika seorang hamba cenderung kepada dunia, lalu Alloh memberikan keinginannya, maka saat itu si pencari telah menemukan yang dicari. Hal ini mengakibatkan munculnya kenikmatan, dan munculnya kenikmatan semakin memperkuat kecenderungannya kepada dunia.”

Satu dari sepuluh perbedaan karomah dan istidroj yang ditulis oleh Syaikh Yusuf an-Nabhani adalah, bahwa seseorang benar-benar tertipu ketika muncul perasaan yakin bahwa dirinya memang berhak mendapatkan karomah. Karena jika ia menganggap tidak berhak mendapatkan karomah tersebut, maka ia tidak akan merasa gembira karenanya.

Perbedaan lainnya adalah, bahwa karomah itu hanya didapat dengan menunjukkan kerendahan dan tawadlu’ di hadirat Alloh. Maka jika ia merasa tinggi, sombong, dan takabur karena karomah tersebut, maka tidaklah benar bahwa ia telah mencapai karomah.

Salah satu yang melenakan dari ketawadlu’an adalah ketika seseorang lempeng saja dalam hidupnya tanpa ada hambatan apapun. Kemudian kemudahan itu tetap saja ada, meski apa yang dilakukan tidak lagi berada pada jalan kebenaran. Inilah yang berbahaya.

Lihatlah pengakuan setan ketika gagal menyesatkan Syaikh Abdul Qodir dalam cerita yang masyhur, yaitu ketika Syekh Abdul Qadir al-Jilani sedang bermunajat kepada Alloh swt. Kemudian, tempat di sekelilingnya memancarkan cahaya yang amat menyilaukan.

Tiba-tiba dari cahaya tersebut terdengarlah suara, "Hai Abdul Qadir, akulah Tuhanmu, aku datang kepadamu untuk menyatakan bahwa kini aku telah menghalalkan segala yang tadinya aku haromkan".

Mendengar sebuah ungkapnya tersebut, Syekh Abdul Qadir pun langsung berteriak membentak, "Keparat kau setan, pergi kau dari hadapanku)".

Seketika setelah itu langsung padam cahaya-cahaya yang menyilaukan itu. Setelah itu, datanglah suara merintih,

"Ampunilah aku ya Syaikh. Engkau telah terhindar dari godaanku. Aku sengaja menggoda orang-orang yang ahli tarekat tetapi bodoh tak berilmu. Tapi, engkau telah lulus dari godaanku, karena Tuan telah memiliki ilmu.”

Pengakuan setan bahwa banyak orang yang terjerumus dalam godaannya sebab terlena pada derejat dirinya ini adalah warning bagi siapapun, termasuk warning bagi penerima kemudahan yang tidak punya jaminan lepas dari segala efek samping.

Ahmad Yusuf Tamami 
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra" fb  
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya

1 تعليقات

أحدث أقدم