Bekerja kok Nggak Bahagia, Piye je? (2)

 

PERCIK.ID Dari tulisan seri sebelumnya, ada beberapa response yang masuk langsung ke saya, baik itu sifatnya sekadar masukan, saran, juga ada pula yang bernada sanggahan. Itu terutama menyangkut garis besar konsep yang memang ingin saya angkat di sana, yakni: kerja tak semestinya dibebani keharusan untuk maju. Bekerja adalah satu bagain besar dari hidup, sehingga tak semestinya menjadi tirani yang menjajah kebahagiaan manusianya.

Tapi, bekerja tanpa beban untuk itu tolong jangan ditafsirkan sebagai kerja yang asal-asalan atau sembrono. Pada tulisan itu, saya menekankan bahwa bekerja tanpa beban justru harus diikuti dengan kesungguh-sungguhan. Bekerja tanpa beban harus dijiwai dengan ketekunan sebab di sanalah letak bekerja yang bahagia. Sebaliknya, kemalasan adalah biang kerok dari kerja yang tak membahagiakan.

Jadi ternyata dinamika malas dan capek itu saling menyebabkan satu sama lain. Bukan malas karena capek saja, tapi bisa capek karena malas. Itu efek beruntun yang sebisa-bisa dipahami sehingga hidup jadi lebih nyaman dijalani. Siapa orangnya yang mau hidup dilingkupi capek, pegal-pegal, dan badan kaku. Kita ingin bugar, segar, fit, dan ternyata itu ditempuh justru dengan bergerak, bukan kebanyakan istirahat (baca: bermalas-malas).

Bahwa kemudian kita merasa capek dan butuh istirahat, tentu saja itu wajar dan manusiawi. Tapi ada batas yang perlu ditemukan antara istirahat dan bermalas-malasan. Umar bin Khoththob pernah menyampaikan nasihat bahwa ia membenci seseorang yang tak melakukan apapun untuk dunia dan juga untuk akhirotnya. Saya pikir ini pendekatan yang baik untuk memaknai malas.

Kembali, titik tekan saya adalah sregep. Sebab dengan sregep itu, badan dan pikiran akan mencapai kebugaran yang baik. Capek memang tak bisa dihindari, tapi setidaknya bukan capek yang bikin kaku dan beku badan, atau apalagi pikiran. Tampak, sregep yang secara dzahir merepotkan dan membuat capek justru adalah jurus jitu menuju kerja yang membahagiakan, hidup yang ringan.

“Tapi Nggar, sungguh-sungguh saja, sregep tok, tetap nggak bisa bikin kerja jadi bahagia lho, fyi!”, demikian pesan selanjutnya yang juga saya tangkap dari kawan saya yang lain.

Oke. Mengenai ketekunan, sregep, atau kesungguh-sungguhan memanglah faktor yang datang dari dalam diri manusianya. Saya sangat menyoroti faktor internal ini, karena menurut saya, ia lebih memiliki porsi lebih besar dibanding urusan eksternal dalam hal bahagia atau tidaknya seseorang saat bekerja. Urusan eksternal, misalnya mengenai pekerjaan itu sendiri, memang berpengaruh pula pada kebahaagiaan manusia. Tapi sekali lagi, itu tak sebesar faktor internal dari dalam diri manusianya.

Soal faktor eksternal ini, meyangkut urusan kerja dan pekerjaan, jujur saja saya hampir-hampir bosan menuangkan narasi “pot yang tepat”. Sudah berulang-ulang menuliskannya, bolak-balik menceritakannya melalui obrolan atau diskusi, juga bahkan selalu saya tancapkan sebagai keyakinan yang tak pernah goyah. Kerja ibarat menemukan pot yang tepat. Sehingga, dengan kecocokan pot itu, maka sebagai manusia yang tumbuh di dalamnya kita akan segar menjulang, subur, dan berbuah manfaat.

Soal uang? Tak perlu dinafikan, itu tentu saja kebutuhan mendasar bagi setiap pekerja. Manusia yang bekerja tentulah semestinya mendapatkan balasan berupa upah, gaji, atau sebutlah uang, meskipun pada konsep ‘pot yang tepat’ dan ‘kerja tanpa beban’ di atas, uang bukanlah variabel yang perlu dicita-citakan. Uang perlu, harus ada, tapi tak perlu dicita-citakan, bahkan tak usah terlalu dicari-cari amat. Seperti oksigen, ia harus selalu ada, tapi hampir tak ada manusia yang bersusah payah menemukan oksigen. Kecuali kemarin dalam keadaan pandemi yang genting.

Yang pasti ada kebahagiaan tersendiri di atas perkara uang yang bisa kita peroleh dari kerja. Dalam ‘pot yang tepat’ itu, manusia akan menemukan habitat yang sesuai dengan karakteristik dirinya. Bukan hanya soal tempat dan cara kerja yang cocok dengan kebiasaan serta budayanya, melainkan lebih dari itu, ia mendapati keseluruhan proses pekerjaan itu memang menumbuhkan dirinya. Ibarat ikan, ia berada di kolam yang tepat, dengan takaran volume air yang pas, kadar oksigen, serta pakan yang cocok. Ia tidak menjadi ikan koi di sungai, atau piranha di akuarium, atau apalagi paus di kolam penangkaran.

Bahagia, dengan demikian, tetaplah menjadi sebuah konsep yang tak mudah diterka. Tapi setidaknya, dalam konteks bekerja-sebagai urusan yang paling besar dalam hidup manusia modern, ada usaha yang bisa ditempuh manusia untuk mendekatinya, yakni dengan meletakkan sregep (internal) pada ‘pot yang tepat’ (eksternal).

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

إرسال تعليق

أحدث أقدم