PERCIK.ID- 79’ menit berjalan, Prancis tidak menunjukkan permainan yang layak sebagai finalis. Final Piala Dunia 2022 sepertinya akan berakhir sebagai pertandingan yang membosankan. Argentina terlalu dominan dan mendikte permainan. Para pemain Prancis, bahkan kalah trengginas dibandingkan dengan “Riung Rimba”, tim tarkam dari desa saya yang bayarannya cuma traktiran sarimi dan extrajos.
Dalam posisi tertinggal,
Prancis seolah pasrah atas hasil yang mereka terima. Sama sekali tidak tampak
keinginan untuk bangkit dan menang sampai ketika Mbappe melesakan gol penalti
di menit ke 80’ dan menggenapinya satu menit berselang lewat sepakan
akrobatiknya. Dalam tempo 2 menit situasi berubah. Bayangan-bayangan yang
seolah telah jadi kenyataan, kembali dipertanyakan.
Pada akhirnya Prancis kalah adu penalti setelah
memaksakan skor 3-3 di babak perpanjangan waktu. Mestinya, mereka punya peluang
besar mengakhiri pertandingan dengan kemenangan, jika peluang besar di menit
120 + 3’ berhasil dituntaskan Kolo Muani. Tetapi Emi Martinez memupus harapan
itu dengan satu kaki.
Setelah partai final berakhir dan Argentina keluar
sebagai juaranya, banyak orang merasa lega. Messi yang merupakan sinonim dari
keajaiban—kata Ahmad Sahal—akhirnya berhasil mendapatkan trofi Piala Dunia.
Kepingan puzzle terakhir yang paling berharga untuk menahbiskan dirinya sebagai
Greatest of All Time (GOAT) pada usia 35 tahun, usia senja pesepakbola. Seperti
film dengan akhir bahagia. Indah sekaligus mengharukan.
Perdebatan tentang siapa yang terbaik di antara
Messi dan Cristiano Ronaldo, berakhir sudah. Begitu kata banyak media yang
lantas diamini para pembacanya. Trofi Piala Dunia jadi patokan. Perdebatan tak
bisa dilanjutkan sebab salah satunya dipastikan tak akan memilikinya. Yang
banyak terjadi sebenarnya bukan perdebatan, melainkan adu lihai membuat
olok-olokan.
Orang-orang “bersuara” melalaui kolom komentar.
Menyatakan dukungan dan pendapatnya mengenai pemain idolanya. Kemudian
kita mendapati fakta bahwa nyatanya tak cukup sekadar mencintai tanpa mencaci
maki. Tak ada rasa kagum yang tidak dibarengi cibiran. Kemenangan tanpa ejekan
adalah kemustahilan. Menang tanpa ngasorake
jadi sebuah ungkapan dan nilai yang sulit ditemukan peristiwanya.
Emi Martinez menggendong “bayi” Mbappe pada
perayaan juara di Buenos Aires tanpa merasa malu bahwa dia dibobol oleh “bayi”
itu sebanyak 4 kali. Sportifitas yang merupakan ruh dari sepakbola dan juga
kehidupan tampaknya
sedang diabaikan. Manusia memang
tidak cukup cuma meraih kemenangan, mereka musti pula berusaha untuk tidak
merendahkan.