Kerja kok Nggak Bahagia, Piye je?

 


PERCIK.ID Beberapa waktu lalu saya jalan ke Kediri. Dalam kurun waktu hanya seminggu saya mobile berangkat ke Klaten, kembali ke Surabaya, lalu otw lagi ke Kediri. Dari timur ke barat, balik ke timur, lantas ke barat lagi. Saya berasa jadi manusia yang yes banget. Kerja terus. Tapi, ya, semoga saja itu bukan mbagusi, atau sekadar perasaan saja tanpa ada kenyataan. Maksudnya, kenyataan sibuk itu kan katanya tak melulu berarti produktif. Jadi, sibuk, atau mobat-mabitnya saya ke sana kemari itu, katanya belum menjamin kalau saya bekerja.

Tapi saya tak terlalu mempersoalkan masalah produktifitas. Dalam situasi sibuk yang terjadi di atas, fokus perhatian saya justru tertuju pada fakta bahwa ternyata kesibukan kerja itu juga bisa menciptakan kebahagiaan. Seperti olahraga yang kalau dikerjakan bikin badan capek tapi setelahnya justru membuat sehat, segar, gemrenggeng, maka tampaknya demikian juga dengan kerja. Kerja juga bikin capek, tapi justru dengan kerja itulah, manusia bisa padhang hidupnya. Optimis dan semangat hari-harinya. Atau, lebih mendasar lagi, jika kerja dilakukan dengan porsi dan akurasi yang tepat, maka akan bahagia pula hidup manusianya.

Orang tanpa olahraga akan cenderung gopok mudah sakit, maka demikian halnya dengan orang tanpa kerja. Hidupnya akan ‘sakit’ dengan rundungan berbagai persoalan penyakit jiwa. Bahwa tidak kerja lantas tidak punya pendapatan dan hidup serba sulit, kita semua sudah lebih dari paham. Tapi ada pula persoalan lain yang lebih kacau meskipun seseorang punya pekerjaan dan punya pula gaji pemasukan, yakni kerja yang tak diseriusi, tak dijiwai, dibiarkan berjalan seadanya, atau malah terlantar. Di sana terletak potensi resiko kegamangan hidup yang tampaknya banyak pula mendera kebanyakan kita.

Orang-orang yang menelantarkan pekerjaan, membiarkannya, menjalaninya dengan tidak serius, mereka hanya akan mengeluhkesahkan atau malah mengutuk pekerjaannya. Hati dan jiwanya tak pernah diterangi oleh optimisme. Mereka tak memiliki pandangan ke depan. Tak punya pengharapan akan hidup yang lebih baik. Bayangkan, kerja tanpa penghayatan, hidup tanpa harapan, betapa menyebalkannya?

Repotnya, pemahaman orang kekinian menggenai kerja memang tak lebih pada perkara produktivitas. Kerja harus menghasilkan sesuatu. Kerja, dipatok hanya dan hanya pada hasil dan target belaka yang sayangnya, itu semua cenderung menekan manusianya. Sehingga wajar jika manusia modern lantas tak pernah menemukan keterkaitan puzzle antara kerja dan bahagia. Kerja yang harus produktif ini nyatanya diam-diam adalah pemahaman yang tak kalah berbahayanya dibanding kerja yang ditelantarkan.

Mungkin buat beberapa orang pemahaman soal produktivitas tadi bisa aplikatif. Tapi, dalam atmosfer dunia modern yang berpacu dengan kecepatan yang sangat gila, konsep produktif ini bisa menipu dan malah menghancurkan. Manusia bisa ditelan depresi hanya karena ia tak mencapai kemajuan. Mereka tertindih beban karena merasa hidupnya gitu-gitu aja. Padahal jangan-jangan, mereka sudah banyak melakukan sesuatu, membereskan banyak hal, tapi itu semua memang berkaitan dengan kewajiban hidup yang harus diselesaikan.

Ada anak yang tak bisa segera beli rumah padahal kerja dan karirnya dahsyat luar biasa. Ia juga tak hidup mewah. Sebab ternyata gaji yang didapatnya dipakai untuk membiayai adik-adiknya sekolah. Atau orang tua yang tak bisa berkarir moncer karena ia harus mengurusi keluarga di satu tempat sehingga menolak penempatan di lokasi lain. Hidup progresif dengan demikian, tak bisa melulu dalam mode ‘maju ke depan’. Sebagaimana cokro manggilingan, hidup adalah putaran. Kerja, juga tak bisa sekadar dipukul

Sedemikian rupa sehingga, kerja tak perlu pula dibebani dengan keharusan untuk maju. Untuk progress. Atau dalam bahasa ekstrim, kerja tak harus produktif. Kerja, sebagaimana hidup, dilakukan karena memang harus dikerjakan. Dan, yang paling pokok dari itu semua adalah, dalam keadaan apapun itu, kerja harus dijiwai dengan kesungguhan. Sebab dengan kesungguh-sungguhan itu, kerja cenderung lebih dekat dengan kebahagiaan hidup. 

Jadi, kerja dengan cara, porsi, dan takaran yang tepat ternyata membahagiakan dan menyehatkan hidup. Orang Jawa bilang kerja adalah upojiwo. Kerja bukan urusan keperluan raga, melainkan lebih pada urusan jiwa. Makanan buat jiwa.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

إرسال تعليق

أحدث أقدم