PERCIK.ID- Hiruk pikuk pesta demokrasi sudah selesai. Saya coba mengingat-ingat kembali apa yang dulu para paslon janjikan. Paslon 01 menjanjikan gaji TNI-Polri naik tiap tahun dan memperoleh rumah dinas. Paslon 02 berjanji akan memberikan makan gratis bagi pelajar. Sementara paslon 03 berjanji akan menaikkan gaji guru hingga 30 juta rupiah perbulan. Tiga poin tersebut hanya contoh kecil dari banyak hal yang dijanjikan para capres. Selalu fantastis dan menggiurkan. Calon pemimpin berjanji, rakyat menagih pertanggungjawaban. Begitulah sunnatullah politik dan demokrasi.
Dalam Bahasa Indonesia, kata mempertanggungjawabkan menempati urutan kedua sebagai kata
terpanjang, setelah kata heksakosioiheksekontaheksafobia
di peringkat pertama. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata mempertanggungjawabkan
berarti ‘memberikan jawab dan menanggung segala akibatnya (kalau ada
kesalahan); memberikan pertanggungjawaban’. Kata yang terdiri dari 22 huruf ini
terklasifikasi sebagai verba yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan.
Jika ditelisik secara kontemplatif, mempertanggungjawabkan tidak hanya panjang dalam segi susunan
huruf, akan tetapi juga berat dalam bobot makna. Dalam mempertanggungjawabkan, ada sesuatu yang mendahului dan respon
kemudian. Janji politik adalah sesuatu yang mendahului. Bagaimana usaha
mewujudkan janji-janji itu adalah respon kemudian. Mempertanggungjawabkan meniscayakan dua hal, yakni menanggung dan
menjawab. Dua-duanya harus dipenuhi, tidak bisa dipilih salah satunya saja.
Banyak orang bisa menjawab tapi sedikit sekali yang siap
menanggung. Lebih sedikit lagi yang bisa dan siap untuk bertanggung jawab. Suka
tidak suka, begitulah kenyataannya. Praktek soal ini mudah dijumpai di
sekeliling kita masing-masing. Ada yang berjanji akan membayar hutang namun melengos
dan mendadak amnesia ketika jatuh tempo. Ada pula yang berjanji menikahi
kekasihnya namun kabur dan hilang kabar saat diminta kepastian oleh pihak
keluarga.
Mempertanggungjawabkan sesuatu tak pernah mudah. Itu
adalah sikap yang hanya dimiliki oleh ksatria sejati. A man of his word. Nilai seseorang diukur dari sejauh mana ia
bertanggung jawab terhadap kata-kata yang diucapkannya. Oleh karena itu secara
universal, tiap orang waras selalu membenci pembohong. Sebab pembohong tak lain
adalah tukang bual yang berkhianat.
Suatu waktu, pendiri tarekat Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir
Jailani, ketika usianya masih belia hendak pergi menuntut ilmu. Sebelum
berangkat, ia diminta berjanji oleh ibunya untuk tidak berbohong dan ia
menyanggupi. Ibunya memberinya uang bekal yang diletakkan di sebuah kantong
khusus yang dijahit di bagian baju sekitar ketiak. Dalam perjalanan, rombongan
kafilah yang diikuti Abdul Qadir disatroni perampok. Kawanan perampok itu
mengambil semua harta benda. Abdul Qadir dilewatkan oleh para perampok itu
sebab penampilannya tidak tampak seperti orang yang berharta. Namun salah
seorang perampok menghampiri dan bertanya kepada Abdul Qadir apakah ia membawa
sejumlah uang. Dengan lugu, Abdul Qadir menjawab jujur bahwa ia memiliki uang
di bawah ketiaknya. Awalnya, perampok itu mengira jawaban Abdul Qadir hanyalah
candaan hingga ia mengeluarkan sendiri uang yang dibawanya.
Menyaksikan kejujuran itu, pemimpin kawanan perampok itu
menanyakan alasan Abdul Qadir bersikap jujur. Dengan polos, ia mengatakan bahwa
ia sudah berjanji kepada ibunya untuk tidak berbohong. Kawanan perampok itu
akhirnya bertaubat melihat Abdul Qadir yang jujur dan tidak mengkhianati janji
ibunya sembari mengutuk diri mereka sendiri karena merasa selalu mengkhianati
janji Tuhan sepanjang hidup.
Syekh Abdul Qadir mempertanggungjawabkan janjinya kepada
sang ibu. Ia rela menghadapi resiko uang bekalnya raib. Begitulah ujian dalam
mempertanggungjawabkan sesuatu. Pasti berat dan tidak mudah. Akan tetapi, bagi
mereka yang siap dan berani mempertanggungjawabkan sesuatu yang telah ia
sanggupi, akhir yang indah telah menanti, sebagaimana kisah sang sufi.
Ilmu tata bahasa Arab mengenal sebuah kaidah, “Ziyadatul harfi tadullu ‘alaa ziyadatil
ma’na”. Semakin panjang hurufnya, maka semakin bertambah bobot maknanya,
kurang lebih seperti itu terjemahan sederhananya. Misalnya, kata yajii-u dalam bahasa Arab berarti ‘akan
datang’. Ada pula kata Sayajii-u yang
juga berarti ‘akan datang’, namun dengan waktu kedatangan yang lebih lama. Jika
yajii-u datangnya satu jam lagi, maka
sayajii-u datangnya bisa lima atau
sepuluh jam lagi. Penambahan huruf sin
menambah bobot kedatangannya lebih lama.
Begitulah. Mempertanggungjawabkan tidak hanya panjang
secara susunan huruf, tetapi juga berat dalam bobot makna dan pelaksanaannya.
Apalagi jika ditambah akhiran -nya.
Sementara itu, kata lupa dan melupakan memiliki susunan huruf sedikit
dan ringan dilakukan. Sehingga wajar jika seseorang lebih mudah melupakan (atau
pura-pura lupa?) ketimbang mempertanggungjawabkan sesuatu. Entah bagaimana
dengan para calon pemimpin bangsa kita. Mari kita nantikan bersama-sama.