PERCIK.ID- Barangkali Anda sudah
pernah mendengar cerita ini. Barangkali juga, tak cuma sekali: cerita tentang
Imam al-Ghozali dan seekor lalat yang melegenda. Sebab ternyata bukan capaian
keilmuan, keahlian berfilsafat, kefasihan dan keindahan tata bahasa serta
kedalaman makna dalam karya-karya dahsyatnya yang dibaca jutaan “pencari tuhan”
yang menghantarkan sang imam berlabuh ke sisi Tuhan dengan lancar dan aman.
Dipersilahkan masuk surga dengan segenap kenikmatan yang dikandungnya lantaran
membiarkan lalat minum pada wadah tinta yang biasa ia gunakan menulis. Semua
perilaku yang ia sangka kebaikan dan kemuliaan tak laku di hadapan Tuhan ketika
ia sebutkan satu per satu. Manusia punya prasangka dan penilaian atas diri dan
selainnya, tetapi penilaian sejati nyata hanya milikNYA.
Kisah ini telah juga
saya dengar berulang kali, tetapi selalu seperti sebuah cerita yang baru ketika
diceritakan kembali. Kali ini kudengar kisah itu dari seorang penyair. Ia mengaku
mengutipnya dari Kitab Nashoihul ‘Ibad. Ia lalu mengungkapkan pendapatnya,
kenapa peristiwa lalat itu bukan soal kecil dan sepele.
Penyair adalah pembaca
tanda. Mereka tidak melihat dunia sebagaimana apa adanya. Sungai tidak selalu tampak
sebagai sungai di mata (batin) penyair. Kadang, sebuah sungai adalah kisah
cinta seribu halaman yang tak menjemukan ketika dibaca.
Maka, peristiwa lalat
tak sekadar al-Ghozali merelakan tintanya diminum oleh seekor lalat, melainkan
suatu pengorbanan besar atas tersendatnya ilham, melayangnya inspirasi, yang
kemudian hilang dan takkan kembali seutuh sebelumnya demi seekor lalat yang
tetiba hinggap dan nyruput tinta hitam yang mungkin baginya rasanya sesegar
kopi mandailing yang diseduh pada pagi yang menggigilkan tulang-tulang.
Kerelaan al-Ghozali untuk berhenti sejenak itulah yang oleh Tuhan diganjar
dengan surga, sebab mungkin akan lahir suatu karya yang lebih dahsyat dari
Ihya’ Ulumuddin misalnya, jika tak ada lalat, yang artinya ilham terus mengucur
tanpa jeda dan inspirasi mengalir seabadi sungai Nil.
Oya! Baru kuingat bahwa
aku tak cuma duduk dengan satu penyair. Ada dua dan mungkin tiga penyair. Tapi
cuma dua dari mereka yang mengutarakan pendapatnya. Penyair kedua punya
pendapat yang berbeda. Katanya, justru barangkali, jika lalat itu tidak menjeda
al-Ghozali menulis akan lahir suatu karya yang tidak akan dibaca oleh generasi
sepeninggalnya yang dengan itu maka karya itu tidak penting dan diperlukan.
Maka, kalau diukur dengan skala prioritas, tinta itu lebih bermanfaat jika
disruput lalat dibanding menjadi sebuah tulisan yang akan terbengkalai.
Ketepatan keputusan dari al-Ghozali untuk berhenti sejenak demi memprioritaskan
yang semestinya itulah yang layak dapat ganjaran surga.
Kusimak kedua pendapat
tersebut. Tidak kubenarkan atau kudukung salah satunya. Keduanya pendapat itu kuanggap
sebagai hadiah yang Tuhan perkenankan untuk didengar oleh telingaku untuk
kemudian kumaknai sendiri.
Sebagaimana prasangka al-Ghozali atas seluruh perbuatan yang disangkanya sebagai kebaikan dan kemuliaan, yang lalu dicampakkan oleh Tuhan karena tidak bernilai, pendapat dua penyair itu pun bisa berposisi sama. Sebab tidak ada ruang bagi manusia untuk menilai kualitas perbuatan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Kecuali jika pendapat-pendapat itu sekadar sebagai sarana tadabbur, memungut nilai-nilai kontekstual yang berguna bagi perjalanan diri sendiri, mengondisikan diri agar terus menjadi pribadi yang baik serta dekat dengan Tuhan. Tentu saja pada pada fungsi tadabbur inilah kedua pendapat penyair itu musti diposisikan, sebab sedikit banyak saya mengenal kedua pribadi penyair itu sebagai pejalan yang senantisa ingin menguak makna pada setiap ayat-ayat Tuhan yang bersinggungan dengan mereka.
Tulisan dengan modal mengutip pendapat orang seperti ini tentu saja punya kemungkinan untuk salah kutip yang bisa mengakibatkan salah interpretasi, apalagi peristiwanya telah lewat berhari-hari dan cuma singgah ingatan, bukannya catatan. Saya cuma merasa perlu berbagi cerita. Kiranya Anda punya pemaknaan yang berbeda, tentu boleh-boleh saja. Saya pun tetap memandang kecil dan sepele peristiwa al-Ghozali dan lalat itu. Keduanya, al-Ghozali dan lalat itu bikinan Tuhan. Keduanya menjalankan kehendak Tuhan, keduanya terpaksa dan tidak bisa lepas untuk melakukan improvisasi dari peran di “teks” yang telah Tuhan tulis untuk pertunjukan tunggal operaNYA. Tak lain, bagi saya, peristiwa al-Ghozali dan lalat itu cuma ajang pamer kerdermawanan dari Tuhan belaka dan bukan soal lain.
www.percik.id
BalasHapusSyafiq Rahman
Ajang Pamer Kedermawanan Tuhan