Keberpihakan 2


Baca Dulu: KEBERPIHAKAN

PERCIK.ID- Tentu teramat mudah jika kita sekarang harus memilih menjadi kaum katak atau cicak dalam kisah epik pembakaran Nabi Ibrohim as oleh Raja Namrud. Sebab nyata sudah siapa mulia dan siapa hina, mana hitam mana putih. Kontras dan jelas. Terlebih, pilihan tersebut melibatkan kekasih Alloh yang sudah barangtentu dengan membelanya adalah kebenaran absolut. Pengetahuan dan ilmu akan kebenaran membantu kita untuk cerdas dalam bersikap dan berpihak. 


Sayangnya, konteks realita kehidupan tidak selamanya sehitam-putih kasus katak-cicak dan peristiwa pembakaran Ibrohim. Jangankan menentukan di mana kita harus memilih dan berpihak secara firm, untuk menemukan kebenaran yang hakiki pada setiap peristiwa yang kita hadapi saja seringkali kita harus bekerja ekstra keras.  

Ada tingkat kompleksitas yang mengharuskan kita mencari-cari fakta asli di antara ribuan hoax, melihat peristiwa dari sudut dan sisi yang lain, juga terus molak-malik pikiran sendiri agar terjaga obyektivitas penilaian kita. Sehingga dalam kondisi demikian, perbedaan sikap dan keberpihakan menjadi sangat niscaya, karena kebenaran menjadi tidak absolut, melainkan menjadi begitu subyektif dan relatif. 

Jika saya berbeda sikap dan pihak dengan dia, bukan berarti satu di antara kita sedang ada dalam pihak benar dan yang lain sedang jatuh dalam lubang kesalahan. Boleh jadi, kita memang sedang membela prinsip dan kebenaran versi masing-masing. Tibalah kita pada suatu zaman, dimana pilihan sikap kita terletak bukan di antara kebenaran dan keluputan, melainkan kebenaran dengan kebenaran lainnya. 

Tentu konsep ini jangan di-gebyah uyah pada peristiwa-peristiwa artifisial seperti pilihan RT, Lurah atau mungkin pilihan presiden. Jangan juga diangkat untuk menilik perbedaan-perbedaan kelas kakap seperti perbedaan cara beribadah sampai siapa yang kita sembah. Saya tidak ingin ndakik-ndakik mengarahkan penjabaran ini kesana.  

Konsep ini saya kemukakan sekadar sebagai wahana evaluasi untuk setiap pilihan sikap dan keberpihakan kita, tidak orang lain, tidak juga pihak lain. Untuk kita sendiri saja. 

Barangkali kita mengaku telah memihak, menjalani, atau bahkan membela kebenaran, namun di balik motivasi-motivasi mulia itu, sejatinya yang kita perjuangkan adalah kepentingan-kepentingan yang sangat pribadi. Kita hanya nebeng atas nama kebenaran untuk memenuhi karir, jabatan, kekayaan, nama baik, dan segala bentuk self-sentrisme lainnya.  

Prasangka saya, inilah yang menyebabkan semakin rumitnya kita menemukan kebenaran sejati. Sebab bukan kebenarannya yang tidak ada, namun penglihatan mata, akal, dan hati kitalah yang sudah tidak lagi jernih. Kotoran kepentingan amatlah tebal sehingga menumpulkan ketajaman pikiran dan fatwa hati kita. 

Benar bahwa perkara pertama dan utama untuk tepat dalam berpihak dan bersikap terletak pada ilmu yang matang. Namun lebih dari itu, kita membutuhkan hati dan jiwa yang suci dari segala kepentingan.  

Hal ini bukan berarti meniadakan kepentingan dalam diri kita. Sebab jika mau jujur, memang dari kepentingan inilah kita tergerak. Maka menemukan kepentingan yang tepat adalah wajib agar kita tidak bias dalam melihat kebenaran sehingga darinya, tepat pula sikap dan keberpihakan kita. 


Jadi, kepentingan tidak untuk ditiadakan, melainkan untuk dikelola agar tidak merusak sembarang-mbarang. Karena sungguh kita sangat mungkin terpeleset dalam jebakan pemikiran bahwa yang sedang kita kerjakan adalah kemuliaan dan keberpihakan pada kebenaran, namun bisa jadi kita justru sedang membabi buta menerjangnya demi kepentingan pribadi. 

Barangkali kita harus bercermin pada para patriot kehidupan yang sudah sampai tahapan meniadakan kepentingan pribadi. Mereka letakkan diri mereka di bawah segala-galanya. Buat mereka, dirinya sendiri saja sudah tidak penting. Lalu, apakah mereka juga memiliki kepentingan? O, iya. Mereka tetap punya kepentingan dan keberpihakan. 


Bedanya, mereka berani menempatakannya pada kebenaran sejati, bukan seperti kita yang terus saja bingung karena mementingkan yang duniawi dan duniawi. 

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama