Ragam Cara Pandang


اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”

PERCIK.ID- Sekali dua kali, tentu Anda pernah mendengarnya dari ceramah atau khutbah, membacanya dari buku atau meme islami yang bertebaran di medsos. Kita tidak hendak melacak validitas konten nasihat yang seringkali disandarkan kepada Nabi saw. tersebut. Biarlah itu diurus oleh para pakar hadis.


Saya cuma ingin tahu, setelah membaca frasa "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya" apa yang ada di benak Anda? Imajinasi seperti apa yang dipantik oleh kalimat tersebut? Motivasi untuk kerja keras, keinginan untuk kaya, mengumpulkan harta untuk bekal "hidup selamanya", kerja lembur tak kenal waktu, atau apa? Saya tak berani menuduh kebanyakan dari Anda memahaminya seperti itu. Sejujurnya, hal-hal itulah yang pernah mengisi benak saya pribadi.

Ketika membaca nasihat tersebut, saya sempat agak janggal dan kurang sreg. Sebab, jika memang demikian, bagaimana kaitannya dengan filosofi hidup orang Jawa bahwa hidup cuma mampir minum, mung mampir nggombe, atau urip kuwi mung sakdermo nglakoni. Nampak ada kontradiksi disana. Seperti dua kutub yang menolak untuk bertemu.

Menyoal validitas konten nasihat, sebenarnya persoalan akan selesai ketika kita menganggap bahwa ini bukan hadis Nabi, jadi tidak pasti benar dan tepat. Untuk itu tidak perlu kita ikuti dan cari pembenarannya.

Tetapi kalau begitu, tak ada ilmu baru yang kita peroleh. Kita cuma melihat dan memahami kata-kata dengan satu cara pandang. Padahal, kalau kita mau sedikit merenungkan dan mencari "makna" lain dari frasa  "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya" jawabannya ada di nasihat lanjutannya, "Beramallah untuk akhirtmu seakan-akan engkau akan mati besok.”

Karena besok kita akan mati maka amal untuk akhirat kita kerjakan secara maksimal. Karena kita "hidup selamanya" amal untuk dunia kita kerjakan dengan agak santai, sebab kalau hari ini luput toh besok masih hidup, masih ada hari untuk kota kerjakan lagi. Ada makna yang justru sangat berlainan dengan pemahaman pertama. Bukan bekerja keras menumpuk harta demi mengarungi keabadian hidup, melainkan sikap santai dan tidak ngoyo sebab masih ada hari esok. Disini kita menemukan relevansi nasihat ini dengan filosofi hidup wong Jowo yang tadinya seolah kontradiktif itu.

Ragam cara pandang memang seharusnya kita miliki untuk melihat apa saja. Sebab dari cara kita memandang akan lahir tindakan-tindakan. Tak selalu misalnya dimusuhi orang itu buruk, karena musuh kita justru tak akan membebani kita  dengan curhat problem kehidupan, utang buwuhan atau minta traktiran. Artinya, tak selalu juga dibaikin orang itu menyenangkan, sebab ngundat-ngundat selalu berasal dari orang yang baik pada kita, dan bukan sebaliknya.

Hidup dalam kondisi zaman yang terus berubah dan berputar. Kita tentu sempat mengecap kejayaan dan menggapai cita-cita, mengalami pula rasa malu sedih dan kecewa, apalagi jika Anda fans-nya AC Milan dan Manchester United, dulu bersombong-sombong, kini sembunyi-sembunyi dan hanya keluar berkoar ketika menang melawan tim-tim gurem. Untuk itu, ragam cara pandang sangat Anda perlukan untuk tetap ndablek dan hepi ketika bullying datang dari teman ngopi semeja dan dunia maya.

Syafiq Rahman
Freelence Writer & Pedagang Buku "Makaru Makara"  fb          

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama