Dikerjakan oleh Monyet


PERCIK.ID- Beberapa tahun lalu, ketika menjalani pelatihan di rumah Paman Sam, ada satu sudut di ruangan instruktur yang tidak pernah saya lihat. Tidak akan pernah, barang sekalipun, kecuali untuk yang pertama kali. Semenjak kejadian sekali itu saja, sudut ruangan itu seolah haram bagi mata saya.


Bukan sebab faktor mistis atau apapun, melainkan lebih karena cegek alias tersinggung. Sebagai peserta yang menjalani training sepenuh hati, betapa mangkelnya saya membaca sudut dinding dengan papan bertuliskan kalimat kurang lebih demikian: “We can train a monkey to do your job.”

Kita bisa melatih monyet untuk mengerjakan pekerjaanmu. Singkat tapi nylekit sekali. Jingan.

Lama setelah ketersinggungan itu saya simpan, rupanya slogan tersebut bermaksud bahwa pekerjaan yang saya jalani amatlah mudah. Ibarat pesawat yang sudah dalam mode autopilot, pekerjaan dalam kondisi normal sebenarnya akan otomatis berjalan dan selesai dengan sendirinya. Sehingga pada keadaan tersebut, bahkan monyet pun dinilai cukup untuk menjalani beban tanggung jawab remeh itu.

Urgensi keberadaan manusia -pada kasus tersebut sebagai engineer- adalah dalam rangka menyelesaikan berbagai kondisi pekerjaan yang, pada kenyataannya, sering terjadi di luar normal, juga supaya pekerjaan tersebut tidak hanya asal dikerjakan, melainkan harus selesai dengan prestatif dan progresif, mencapai kondisi yang semakin baik dan maslahat. Satu prinsip kerja yang hingga kini saya pegang teguh, meskipun berangkat dari ketersinggungan pada slogan.

Jika dibawa pada ranah yang lebih umum, hal ini berlaku tak hanya pada urusan-urusan pekerjaan saja. Kiranya pekerjaan berjalan normal, maka monyet pun dinilai bisa menggantikan manusia yang telah belajar, berlatih, dan berpengalaman insinyur sekalipun. Maka disinilah titik fungsi manusia: kematangan dan perannya akan tampak dari bagaimana dia mengatasi hal-hal di luar perkiraan, mengelola kesulitan, atau masa-masa krisis.

Sebab masa krisis menghadirkan kondisi yang lain dari normal. Ada tantangan yang tak terduga,  menyulitkan, bahkan kadang juga mengancam. Apapun itu, seperti misalnya kegagalan pekerjaan, ketidaktercapaian target profit (ekonomi), sampai yang paling mendasar namun paling utama, yakni kondisi yang mengancam perikehidupan. Peran manusia dalam apapun pekerjaannya, memastikan segala resiko dan ancaman krisis tadi terkelola dengan baik.

Lebih jauh soal krisis, jika pekerjaan Anda menyangkut dengan amanah dari banyak orang, maka tingkat kompleksitas yang Anda hadapi akan semakin berlipat. Seorang pemimpin pada masa krisis harus berada pada garis terdepan. Dia harus menjadi yang pertama menahan badai, dia juga yang harus mengerti detail masalah sehingga dengan itu, akurat segala strategi langkah yang ditempuhnya. Sedang pada saat yang sama dia wajib menenangkan dan membangkitkan moril pengikutnya di kala, boleh jadi, dia sendiri dalam keadaan panik goncang jiwanya.

Tampak, peran pekerjaan manusia tiadalah pernah mudah. Apalagi jika peran yang Anda ambil terkait langsung dengan kehidupan banyak orang. Sehingga, pada posisi-peran demikian, tidak selayaknya dipercayakan pada mereka yang muncul sekadar karena popularitas dan pencitraan. Hal ini juga berarti, tak sepantasnya bagi siapapun mengaju-ajukan diri untuk dipilih, padahal kapasitasnya tak mumpuni untuk menyelesaikan amanah dan tanggung jawab sebagai pemimpin.

Kita perlu sadar diri sesadar-sadarnya, siapakah diri kita, sejauh mana kita bisa melangkah, posisi dan peran apa yang mungkin bisa kita jalankan. Jangan asal main terjang tanpa perhitungan. Selebihnya, jika memang sudah terlanjur menjalani, sedang kita tak mampu, barangkali ada baiknya kita mengaku.

Daripada tiba-tiba, tanpa kita duga, esok lusa kita diganti oleh monyet.

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama