Catatan Mengenai Lailatul Qodr

PERCIK.ID- Lailatul Qodr, menurut Pak Quraish dalam kitab tafsir Al Mishbah -seperti penjabaran beliau pada banyak ayat lainnya dalam kitab ini-, dimulai dari peninjauan segi bahasa. Lail berarti gelap gulita, yang dapat berarti rambut maupun berarti juga malam. Sedangkan al-Qodr memiliki setidaknya empat tafsir yang akan kita jabarkan belakangan nanti.

Penekanan tafsir ayat pertama, ‘Inna anzalnahu fi Lailatil-Qodr’, justru terletak pada diksi anzalnâhu. Anzalnâ yang berarti diturunkan secara utuh. Sedangkan akhiran -hu disini berarti menggantikan kata ganti pihak ketiga, yakni al-Qur’an. Maka dipahami, bahwa ayat ini menunjukkan waktu dimana Alloh menurunkan Qur’an yakni Surat al-Alaq ayat 1-5 pada Lailatul Qodr tersebut.


Mengenai kata al-Qodr, dalam penjabaran tafsir Pak Quraish, setidaknya mencakup empat hal, yakni:

Pertama, Penetapan. Malam al-Qodr adalah malam penetapan Alloh atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Hal ini diperkuat dengan firman Alloh dalam Qs. ad-Dukhon (3-4)

“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan segala urusan bijaksana”

Kedua, Pengaturan. Pada Tafsir Al-Mishbah, penjabaran mengenai pengaturan tidak didetailkan secara rinci. Bahkan, pada wawancara terakhir dengan putrinya di saluran Narasi TV, Pak Quraish tidak menyebutkan ihwal tafsir pengaturan ini.

Ketiga, Kemuliaan. Dimensi mulia pada malam tersebut disebabkan karena adanya Qur’an yang diturunkan oleh Alloh swt. Terdapat juga pendapat lain yang menyebutkan kemuliaan disebabkan karena ibadah yang dilakukan pada malam itu bernilai tersendiri dibandingkan malam-malam lain. Dalam hal ini, berarti juga, pelaku ibadah pada malam tersebut, memiliki derajat kemuliaan yang lebih tinggi.

Keempat, Sempit. Malam al-Qodr menjadi sempit dikarenakan berjubelnya malaikat yang turun memenuhi langit bumi sehingga penuh sesak.

Terdapat hal menarik yang perlu kiranya kita catat bahwa dari ayat pertama yang menyatakan bahwa Qur’an diturunkan pada Malam al-Qodr, menunjukkan pula waktu kapan al-Qodr atau malam mulia itu bisa kita temukan, yakni dengan melihat kapan waktu al-Qur’an diturunkan.

Dengan menilik keterangan Qur’an Surat al-Anfal ayat 41 yang menyebutkan, “Apabila kamu percaya kepada Alloh dan apa yang diturunkan pada hari al-Furqon, yakni hari bertemunya dua pasukan”

Dalam buku Dialog Ramadhan bersama Cak Nur, kita dapati penjelasan bahwa Tafsir Ibn Katsir, berdasar berbagai sumber menyebutkan bahwa yang dimaksd dengan hari al-Furqon adalah hari Perang Badar, tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan.

Meskipun demikian, tidak pula serta merta kita samakan bahwa pada saat Perang Badar diturunkan al-Qur’an karena toh wahyu Alloh sudah sampai kepada Nabi jauh sebelum beliau hijrah ke Madinah. Persamaan tersebut, menurut Tafsir Al Misbah, merujuk pada persamaan tanggal, bukan tahun diturunkannya al-Qur’an.

Inilah kemudian yang menjadi dasar bagi Haji Agus Salim, Bapak modernisme Islam Indonesia, mengajukan Peringatan Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan, yang pada akhirnya disetujui oleh Bung Karno dan hingga kini menjadi produk budaya masyarakat Indonesia untuk memperingati malam mulia tersebut.

Jika benar demikian, maka tanggal 17 Ramadhan, atau malam Nuzulul Qur’an juga merupakan Lailatul Qodr.

Sesuatu yang menurut kebanyakan kita adalah kejanggalan, meskipun menurut Gus Baha memang logika Qur’an merujuk pada tanggal 17 Ramadhan. Bahkan dari keterangan beliau, maleman Lailatul Qodr di mushola beliau dilaksanakan pada tanggal 17 Ramadhan.

Namun demikian, Gus Baha tetap mewajibkan kita berkhidmat pada Hadits Nabi untuk mencari Lailat Al Qadr pada 10 hari terakhir Ramadhan. Meskipun, sekali lagi menurut beliau, 10 hari pada hadis Nabi itu tak selalu berarti pada akhir Ramadhan. Penekanannya terdapat pada kesungguhan untuk mencari.

Pertanyaan mengenai kepastian waktu yang menjadi misteri ini, menjadi hikmah bagi kita untuk senantiasa memaksimalkan ibadah pada setiap waktu. Bahwa kemudian Lailatul Qodr adalah misteri, sebenarnya tercermin dari ayat kedua Surat al-Qodr yang dimulai dengan pertanyaan Alloh, ‘wa ma adroka’

Dalam tafsir Al Mishbah, dijelaskan bahwa ungkapan ini tidak digunakan al-Qur’an kecuali pada persoalan-persoalan besar yang tidak mudah diketahui hakikatnya oleh penalaran manusia. Lailatul Qodr adalah salah satu dari soal-soal besar itu, yang sudah pasti tidak mudah mengungkap hakikatnya kecuali dengan bantuan Ilahi.

Mengenai kebaikan malam tersebut yang melebihi kebaikan seribu bulan, menurut Gus Baha dari kitab yang dipelajarinya, merujuk pada keadilan Alloh yang diberikan pada umat Muhammad yang hanya berumur kisaran 70 tahun, sedangkan Nabi Ibrahim mencapai umur ratusan tahun, bahkan Nabi Nuh berumur 950 tahun.

Sementara menurut Pak Quraish, diksi alf atau seribu tak selamanya berarti nominal angka diantara 999 dan 1001, melainkan menunjukkan jamak atau banyak. Memang menurut ar-Rozi, seorang pakar tafsir, nilai tambah dalam hal ini terletak pada pahalanya. Seperti halnya sholat sendiri dengan jama’ah, amalannya sama, namun ganjaran pahalanya berbeda.

Pendapat ini sejalan dengan Yusuf Ali yang menafsirkan bahwa malam kemuliaan tersebut lebih baik daripada seribu bulan merupakan simbolisasi bahwa Lailatul Qodr itu mengatasi waktu (transcends time), karena sebagai Malam Penentuan dan Malam Kemahakuasaan Tuhan yang telah melenyapkan kebodohan dengan WahyuNYA.

Terdapat penarikan kesimpulan yang sangat menarik dalam kitab Al Mishbah mengenai penafsiran akan turunnya malaikat pada malam tersebut, yakni bahwa seseorang yang mendapatkan Lailatul Qodr akan semakin kuat dalam jiwanya untuk melakukan kebajikan-kebajikan pada sisa hidupnya sehingga ia akan merasakan kedamaian abadi, sebagaimana pengaruh malaikat dalam jiwanya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Rosyid Ridho yang mengutip pendapat gurunya Muhammad Abduh dalam kitab Tafsir Al Manar mengenai tafsir soal malaikat yang juga sejalan dengan pendapat Imam al-Ghozali.

Mengenai salam pada ayat terakhir Surat al-Qodr, meskipun memiliki beragam tafsir, barangkali ada baiknya kita kutib uraian Ibn Qoyyim dalam kitabnya, ar-Ruh yang menjelaskan damai dalam arti demikian:

“Hati yang mengantar pemiliknya dari ragu kepada yakin, kebodohan kepada ilmu, lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya kepada ikhlas, lemah kepada teguh, sombong kepada tahu diri.” Itulah alamat jiwa yang telah mendapati pertemuan dengan Lailatul Qadr.

Mengenai batasan waktu hingga fajr, terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan bahwa sebenarnya batasan kedamaian ataupun salam, tak hanya berhenti hingga matahari terbit keesokan harinya, melainkan sampai fajr-nya kehidupan akherat.

Maka, indikator didapatkannya Lailatul Qodr, adalah perasaan damai dan tenteram dalam diri dan jiwa sembari timbulnya hasrat untuk terus menerus berbuat dan menebarkan kebaikan. Hal ini terkonformasi dari penjelasan Pak Quraish dalam wawancara dengan putrinya di saluran Narasi TV.

Dr Nurcholis Madjid dalam bukunya Dialog Ramadhan bersama Cak Nur menulis -dengan mengutip pendapat Abdullah Yusuf Ali- bahwa Lailatul Qodr adalah moment mistis, yakni moment ketika seseorang dengan pertolongan Alloh -sebagai efek dari pengalaman ibadahnya yang intensif- sampai kepada semacam pengalaman teofanik atau metafisik dalam menemukan kebenaran. Dan hal itu dapat sangat pribadi, sehingga keterjadian waktunya dapat berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain.

Namun demikian, di atas segala keterbatasan pengetahuan dan segala harapan akan anugrah Lailatul Qodr, ada baiknya kita menilik pendapat Gus Baha yang asyik itu, bahwa selama dia adalah umat Nabi, tidak melakukan maksiat, juga sholeh meskipun sedikit, ya pasti dapat lah Lailatul Qodr.

InsyaAlloh.

Sumber:
1.      Tafsir Al Mishbah Jilid 15, Surat Al Qadr, hal. 490 - 501, Lentera Hati.
2.      Dialog Ramadhan bersama Cak Nur, hal. 79 – 94, Paramadina.
3.      Pengajian Gus Baha soal Lailat Al Qadr:
4.      “Tanda-tanda mendapatkan Lailatul Qadar” Narasi TV

Enggar Amretacahya
Menulis Mencari Ilmu dan Berkah. Pedagang di Surabaya           

إرسال تعليق

أحدث أقدم