PERCIK.ID- Jarang-jarang Mat Kairun dapat undangan buka bersama. Maklum saja, orang sering salah kira, gara-gara kerja kasaran, panas-panasan, dikiranya ia pasti tidak berpuasa, padahal aslinya barangkali memang demikianlah adanya. Hahaha.
Mat Kairun memang tak
setiap hari menjalankan puasa secara harfiah. Dia sering batal puasa. Atau
malah, beberapa kali sengaja tidak berpuasa. Tapi itu dia jalani murni karena
memang menyadari bahwa Tuhan Maha Memudahkan. Selama ia tak berniat mengkhianatiNYA,
dan ada alasan logis atas keputusannya itu, maka, mau tak mau, ia memang harus
rela tak puasa. Ada udzur syar’i, kata orang-orang alim.
Puasa halal untuk tak
dijalankan, sama halnya dengan sholat jum’at yang juga harom dilaksanakan
ketika memang konteks waktu dan keadaannya memang harus demikian. Karena wabah,
umpamanya. Mat Kairun meski tak secara sempurna memahami pemetaan ini, mampu
menerka bahwa Alloh tidak hendak berperan seperti mandor yang mengatur hambaNYA
dengan semena-mena.
Toh ia tetap dalam
kondisi puasa, dalam makna hakekatnya. Ia terus bekerja keras sak pol-pol-nya,
tapi tetap mendapat gaji tak seberapa. Ia bisa memilih satu dua proyek yang
lebih nyaman dan bergaji tinggi, tapi demi amanah, ia mempuasai kemungkinan
itu.
Ia, barangkali masih
merokok. Tapi hanya itu yang ia lepaskan di antara banyaknya hasrat kuliner
yang ia suka. Ia makan sehari dua kali. Nasi putih dengan kombinasi satu lauk.
Entah tempe atau ikan asin. Kalau terlalu seret, ia ambil minyak jlantah agar
licin dan mudah ditelan. Mat Kairun secara radikal mempuasai dirinya sendiri
atas berbagai kenikmatan kuliner.
Jangan ditanya
soal ngempet jajan. Mat Kairun mungkin terlalu bodoh
untuk bisa membelanjalan gajinya. Ia tak tahu menahu belanja di pasar, menarik
uang di ATM, atau apalagi belanja online. Blas! Upah yang ia terima dari
juragan jarang ia sentuh karena langsung dikirim kepada istrinya di rumah. Mat
Kairun secara frontal berpuasa dari segala bentuk konsumerisme.
Maka, meskipun sedikit
sungkan, diam-diam Mat Kairun memaksa diri untuk pede saja menghadiri undangan
buka bersama yang digelar oleh juragannya di suatu hotel berbintang di bilangan
Surabaya Pusat.
“Pisan-pisan melu bukone
wong get, buko enak, masio uripku asline yo tetep ae poso hahahaha,” gumam Mat Kairun.
Sayang, Mat Kairun tidak
bisa menikmati sama sekali gelaran buka puasa di hotel berbintang itu. Bukan
hanya karena beda menu makanan dan lingkungan hotel yang tak cocok dengan prejengan Mat
Kairun yang wagu dan ndeso, tapi ada persoalan yang lebih rumit dari itu.
Mat Kairun benar-benar
tak habis pikir, bagaimana urusan makan-makan bisa dihelat sedemikian
meriahnya. Digebyar-gebyar dengan tidak hanya sekadar menu-menu yang kelewat
kumplit, tapi bahkan ditata dan dinuansakan suasana syahdunya.
Seketika barangkali Mat
Kairun tenggelam dalam kekaguman kreatifitas manusia, tapi lebih banyak lagi,
ia takjub pada polah tingkah manusia dengan urusan yang sebenarnya biasa-biasa
saja, yaitu persoalan mbadog.
Sebab Mat Kairun tidak
pernah makan dengan cara seperti itu. Ia berbuka hanya dengan teh panas.
Ditambah sebatang rokok. Sudah. Kalau sekarang ia melihat manusia-manusia
ganteng, ayu, yang berdandan klimis tapi berjumpalitan di antara hamparan menu
makanan, otak Mat Kairun benar-benar tidak mampu mencernanya.
Es kopyor, jajan pasar,
bubur gandum, gorengan, sup, fishball, nasi briyani, martabak, roti john, tahu
campur, sampai sate kambing, semua ada. Tapi, bagaimana caranya, itu semua
dijejalkan ke dalam kantong perut manusia dalam sekali waktu? Ternyata perut
manusia lebih lentur daripada karung yang biasa diangkat Mat Kairun.
Orang-orang bilang ini
makan buffet. All you can eat. Sekali bayar dengan tarif setara
seminggu makan di kampungnya, Mat Kairun diberi waktu tiga jam untuk bisa
melibas habis makanan yang gilir gumanti disediakan oleh hotel tersebut.
Meski tentu saja, itu tidak akan pernah mampu dilakukannya, juga oleh semua
manusia normal di manapun.
Kebutuhan makan bahkan
bisa direkayasa sedemikian rupa oleh manusia modern hingga menjadi komoditas
jualan. Berlandaskan nafsu kuliner dan konsumerisme, urusan makan yang aslinya
adalah kebutuhan primer disulap menjadi perhitungan potensi keuntungan.
Peduli amat dengan
makanan yang terbuang. Peduli setan kalaupun menjadi ajang pelampiasan nafsu.
Mat Kairun gagal total.
Ia tak mampu memakan sebanyak itu. Satu piring martabak, sepiring sate, es
krim, buah, dan sudah pol. Mat Kairun mengajak saya pulang.
“Wis Nggar, gak kuat. Ayoh mulih
ae”
Saya lihat jam tangan.
Tersisa waktu satu setengah jam. Saya masih menikmati bandrek. Masih merasa
belum selesai dengan bebek peking, ayam bumbu, dan tahu campur, “Sik Cak, diluk maneh..”
Mat Kairung ngeloyor,
katanya mau sholat isya. Sesampainya di mushola, hatinya kemropok melihat
tempat ibadah yang nyempil di antara deretan mobil di parkiran,
“Mereka makan gila-gilaan
tapi Tuhan dibiarkan kesepian, ancene asu arek-arek iki..”
www.percik.id
BalasHapusBuka Bersama Mat Kairun(link)