PERCIK.ID- Kepada Ibu, landasan apa
yang Anda gunakan dalam menjalin interaksi hubungan dengannya? Adakah landasan
itu sama ketika Anda membangun hubungan dengan teman-teman dolan? Juga dengan
rekan kerja? Atau, dengan rekan bisnis, umpamanya. Sama kah?
Hampir pasti tidak. Ibu adalah medan kasih. Samudera cinta yang Anda selami dan pergauli pasti juga dengan bekal yang sama. Sedang pada selainnya, Anda bisa memiliki beribu kemungkinan landasan atau tema pergaulan, misalnya hutang-budi, keasyikan dan keseruan, hingga yang paling mutlak umum adalah: kepentingan.
Pola utama interaksi
manusia modern adalah transaksi kepentingan. Jikapun ada pertimbangan moral
atau etika, ia tetap diletakkan pada porsi support, sekadar bagaimana
agar transaksi utama tetap berjalan lancar dan adil. Tanpa kepentingan, manusia
modern sulit menemukan motivasi untuk bergaul atau menjalin interaksi.
Basis kesadaran berpikir
kita adalah dagang. Kitalah bentuk manusia dagang sejati yang segala urusannya
ditakar dengan hitungan untung-rugi, tanpa peduli bahwa sebagai manusia kita
memiliki keutuhan sebagai makhluk ahsani taqwiim, yang didesain oleh
Tuhan dengan keutuhan kosmos karakter kepribadian: cinta kasih,
kepedulian, tepo seliro, tolong menolong, tenggang rasa, dan
seterusnya.
Sayangnya, keindahan interaksi
manusia yang menanggalkan egoisme pribadi dan mendahulukan pihak lain adalah
barang langka yang sulit kita dapati hari-hari ini. Kalaupun Anda memaksa diri
untuk menjalin interaksi tanpa kepentingan apapun, maka tetap bersiaplah bahwa
lawan interaksi Anda berharap-harap keuntungan atas hubungan yang sedang Anda
bangun dengannya.
Pragmatis saja, bahwa
hidup di zaman kapitalis begini, kita memang butuh uang sebagai motivasi kok.
Dalam hal apa saja: bisnis, pekerjaan, aktivitas sosial, bahkan pendidikan
sekalipun. Seorang kawan mengabarkan pada saya bahwa untuk bisa mengajari atau
menyuruh anaknya mengerjakan satu urusan, itupun harus dengan sokongan uang. Kurikulum
paling mutakhir adalah kurikulum berbasis upah.
Dengan cara berpikir
demikian, manusia modern buntu mengerti peta hubungan dengan tanah, kecuali
untuk kepentingan membangun klaster perumahan. Sulit menemukan pola interaksi
dengan gunung kecuali untuk kepentingan menambang atau setidak-tidaknya
menjadikannya obyek wisata.
Juga mandek mengerti
bagaimana harus berinteraksi dengan tumbuh-tumbuhan, pepohonan, dan hutan,
kecuali untuk didayagunakan nilai jualnya. Apalagi, terhadap bintang gemintang,
atau bumi dan alam rayanya. Tidak kita temukan urgensi ketepatan interaksi agar
alam juga merasa bahagia.
Kalaupun manusia
mencanangkan berbagai program ramah lingkungan, semenjak mengurangi penggunaan sedotan
plastik, perancangan green building, sampai kesepakatan internasional
untuk mengurangi emisi karbon; semuanya memang demi kebaikan alam, tapi tujuan akhirnyanya
adalah keberlanjutan hidup manusia agar lebih jangka panjang. Kepentingan ultimate-nya,
sekali lagi, ada pada manusianya.
Manusia modern
benar-benar kehilangan skala kosmologinya. Ia tak menemukan titik koordinat
yang presisi untuk berdiri di antara sekian banyaknya pihak yang ia pergauli.
Sebab jangankan pada itu semua, untuk berinteraksi dengan diri sendiri saja
mereka perlu usaha ekstra, sebab pada dasarnya mereka mendapati diri mereka sendiri
lah orang paling asing di dunia.
Sehingga dengan latar
belakang itu, jangan terlalu muluk-muluk menilai hubungan dengan Tuhan, sebab
jangan-jangan kita ini hanya GR saja merasa dekat denganNYA padahal aslinya
tidak. Kita merasa telah menjadi hamba yang mengabdi, sedang pengabdian kita
padaNYA full pamrih. Supaya laris dagangan, dapat jodoh cakep, dapat
nilai bagus saat ujian, lancar semua urusan kehidupan, atau mungkin juga
sekaligus agar kelak masuk surga.
Tuhan adalah lawan
transaksi paling utama dalam hidup yang harus disembah, diikuti perintah dan
laranganNYA, harus dibuat ridlo; dalam rangka keamanan dan kebahagiaan dunia-akherat
kita sendiri. Titik tolak penghambaan dan peribadatan manusia adalah egoisme
kepentingan diri sendiri.
Akhirnya, kalaupun tidak
pada Tuhan, tidak juga untuk bumi dan alam raya seisinya, adakah mungkin setidak-tidaknya
kita melihat manusia lain bukan sebagai lawan transaksi kepentingan sebagaimana
Kanjeng Nabi yang lara lapa ketika mengingat umatnya karena yang terlihat oleh
Beliau adalah penderitaan kita.
www.percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Makhluk Kepentingan