PERCIK.ID- Saya punya satu teman masa kecil yang
begadulnya masya Alloh. Inisiatif-inisiatifnya yang macam kancil sering
menginspirasi anak-anak yang lain mengikuti jejaknya. Bahkan kadang anak-anak
dengan sukarela menjadi pasukan militan teman saya itu dalam mengaksikan
kebegadulannya.
Akibat dari lakunya yang khoriqul 'adah masya Alloh itu, ada salah satu tetangga yang menaruh benci tak bertepi padanya. Kalau bertemu, tetangga saya yang adalah ibu-ibu beranak tiga itu tak mau melihat wajah teman saya yang alhamdulillah tidak bernama Deni. Melengos lah ia kalau tak sengaja berpapasan. Bukan tanpa alasan, ia adalah salah satu korban kebegadulan teman saya dengan "porsi" paling banyak.
Suatu ketika teman saya disuruh oleh ibunya
beli minyak tanah di warung dekat rumah. Seperti anak pada umumnya, ia mau
berangkat dengan iming-iming "kembaliannya buat kamu".
Di situ ada Yu Sinah -nama samaran tetangga
yang membenci teman saya- yang sedang mborong untuk keperluan kajatan
yang akan digelar di rumahnya. Maka teman saya itupun didahulukan agar tidak
menunggu lama-lama.
Lakok pas pulang, kebegadulannya sedang onfire.
Sandal Yu Sinah ia cengkiwing dan langsung ia gondol pulang. Yu
Sinah yang sadar sandalnya dibawa pun langsung teriak dengan lantang,
"Sandalku, woy. Sandalkuuuuu."
Mendengar empunya sandal teriak, ia malah
makin kencang berlari sambil nenteng sandal curiannya.
"Wooooooo bocah kempluuuuu"
Teriak Yu Sinah makin berang.
Setelah kejadian itu, Yu Sinah menaruh
dendam membara luar biasa pada teman saya yang tidak bernama Deni tadi. Padahal
sandal yang teman saya bawa sudah dikembalikan di ranting pohon mangga depan
rumah Yu Sinah. Tapi itu tak sama sekali mengubah rasa benci Yu Sinah.
Kebencian itu sudah kadung mengakar dan tak tampaknya tak lagi bisa dicabut.
Itulah yang menjadikan segala perkara
kenakalan yang terjadi selalu dialamatkan pada teman saya yang tidak Deni tadi.
Bahkan yang jelas tidak ada teman saya tadi pun, yang salah tetap teman saya.
"Anak-anak jadi makin nakal. Pasti
diajari anak itu" kata anak itu jelas ditujukan untuk teman saya,
alih-alih muak menyebut nama.
Bahkan ketika anaknya nangis dan diantarkan
pulang oleh teman saya, yang salah tetap teman saya. Tanpa ada BAP, teman saya
langsung jadi tersangka.
"Lo, kamu apain anakku kok nangis
begini" sambil sapu siap di pundak bak sedang membawa pedang. Tak ada
pembelaan, ia adalah tersangka. Titik!
Dendam membara nan menyala-nyala itu
terpelihara sampai teman saya itu lama tidak tinggal di desa. Menurut riwayat
yang sohih, ia bekerja di luar pulau dengan kedudukan dan gaji yang mentereng.
Tak ada keraguan, ia adalah gambaran kesuksesan bagi masyarakat di desa. Ia
sering jadi contoh anak yang bisa diharapkan orang tuanya,
"Bahagia ya pasti orang tuanya.
Makanya, kamu nanti jadilah kayak dia," kata banyak ibu-ibu pada anak
mereka.
Tapi bahkan ketika seperti itu, Yu Sinah
tak juga tergugah dan terus saja mencari celah agar tidak ada kebaikan pada
teman saya yang tidak bernama Deni tadi.
Sampai akhirnya di suatu hari, anak
perempuannya yang cantik jelita bercerita padanya dan suaminya soal laki-laki
yang akan datang melamarnya. Tak ada sama sekali bayangan bahwa yang datang
adalah teman saya yang tidak bernama Deni.
Jauh hari, anaknya sudah menjalin
komunikasi intens dengan teman saya. Ada kecocokan dan cinta yang membuat
mereka bersepakat untuk membangun keluarga bahagia. Keputusan yang syudah final
tentu saja. Tinggal taken restu orang tua.
Sebelum pukul sepuluh, laki-laki itu datang
dengan mobil jes warna putih. Mobil yang jelas cukup beken untuk ukuran mobil
orang desa yang biasanya pikep, truk, atau sementereng-menterangnya ya afansa.
Dengan baju yang rapi, laki-laki itu
melangkah yakin ke depan pintu. Suami Yu Sinah yang sudah bersiap di ruang tamu
pun bangkit seketika tatkala mendengar suara pintu diketuk.
"Loalah, sampean toh. Ayo masuk,"
sapa Suami Yu Sinah dengan sedikit agak canggung. Ia sadar istrinya jelas tak
suka dengan laki-laki ini. Tapi di sisi yang lain, ia tak ingin mematahkan
harapan dan bayangan masa depan anak perempuannya.
Yu Sinah yang melihat dari dalam sudah
geregetan luar biasa. Calon mantunnya ternyata anak yang ia benci selama ini.
Tak rela. Tapi sama seperti perasaan suaminya, ia tak ingin mengecewakan
anaknya. Ia pun berusaha menenangkan diri sambil mendengarkan dengan seksama dari
ruangan yang lain.
Singkat cerita, obrolan mereka yang
didengar Yu Sinah dan anaknya sampai pada pembahasan "ekonomi masa
depan".
"Kalau soal rumah dan ekonomi. Insya
Alloh saya sudah siap, Pak. Saya sudah membuat rumah di dekat tempat kerja
saya. Itupun kalau nantinya penjenengan merekalan putri panjenengan ikut dengan
saya di luar pulau. Kalau tidak, saya juga sudah siapkan tanah yang siap untuk
dibanguni rumah. Sampai saat ini, setidaknya saya punya celengan 7 M untuk
mempersiapkan segala sesuatu dalam membangun rumah tangga nantinya."
Yu Sinah seketika menelan ludah. Tak
percaya, anak yang ia benci ini punya kekayaan sebanyak itu. Tak percaya pula,
anak ini yang akan jadi menantunya.
Tapi dari sisi mata duitan yang Yu Sinah
derita, naganya tak mungkin Yu Sinah menolak. Dan benar, ketika bapaknya masuk
sebentar untuk mengkonfirmasi, Yu Sinah menjawab setuju lebih antusias dari
anaknya sendiri.
Teman saya yang tidak bernama Deni ini
telah menempatkan posisi yang baik dan punya bargaining position yang
kuat untuk menutup kemungkinan ditolak. Dan itu selaras dengan harapan Yu Sinah
yang ingin punya mantu sugeh mblegedu.
"Tidak apa-apa, benci itu masa lalu.
Bisa dihapus mulai dari jadi calon mantu."
Bisik Yu Sinah pada anaknya dengan senyum
mengembang.
www.percik.id
BalasHapus(Rehat: Bargaining Position)