Rehat: Ritme

PERCIK.ID-Kehidupan berjalan ritmis, sistematis dan terstruktur. Tidak syiak lagi, realitas kehidupan memang demikian. Manusia bisa merasakan ritme itu hanya dengan kemampuan menjaga stabilitas hati.

Sebagaimana mendengarkan lagu, orang hanya bisa menikmatinya ketika mampu membawa diri dan menghayati lagu melankolis, bisa tetap mantuk-mantuk ketika mendengarkan lagu pop, menambah ritme mantuk-mantuk ketika mendengarkan lagu rock, dan sedikit menggoyangkan tubuh ketika mendengarkan lagu beat, rap, dan tentu saja dangdut.

Pun sebagaimana mobil, kualitasnya terasa hanya ketika jalan bergelombang atau berlubang. La, kalau jalan sama-sama halus mulus, barangkali ceri dan mersi jadi tak punya berbedaan mencolok kecuali soal gengsi dan harga pajak belaka.

Kehidupan akan terasa ritme dan keasyikannya ketika seseorang mampu membawa hati untuk menikmati aneka takdir yang tak hanya menyediakan jalan yang lurus nan mulus, tapi juga berkelok dan berlubang. Tidak hanya menyediakan lagu melankolis yang menyesakkan dada -apalagi didengarkan dengan menghayati kenangan di masa lalu-, tapi juga rock, pop, kpop, rap, dangdut, koplo, dan campursari.

Komposer yang mengatur nada, tempo dan ritmenya ya Gusti Kang Murbeng Dumadi, kita cuma bagian menikmati.

Soal kenyataan bahwa kehidupan ini sistematis dan terstruktur bisa dirasakan, tapi hakikat sistem dan strukturnya kita cuma bisa meraba-raba. Sebab kita tidak ikut-ikut ngeplan, mengatur, dan merancangnya. Haqqul yakin, setting kehidupan itu sistematis. Berjalan dari satu titik ke titik yang lain dengan terukur dan terkait.

Dalam istilah yang lebih familiar, kita mungkin bisa menggunakan kata sunnatulloh kehidupan untuk mempercayai bahwa kehidupan itu sistematis.

Bahwa ada isi kehidupan yang dianggap enak, nyaman, sengsara, menderita, itu soal bagaimana cara menikmati ritme. Takdir sekadar kompisisi, yang bisa menikmati hanya orang-orang yang bisa menikmati melankolis takdir, popnya takdir, rocknya takdir, beatnya takdir, rapnya takdir, dangdutnya takdir.

Semudah itu.

Menjadi tidak mudah sebab manusia punya anti genre tertentu. Anti rock, anti kpop, anti koplo, dan yang semacamnnya. Pada kehidupan, kebanyakan manusia itu anti genre miskin, terasing, sengsara. Saya bilang kebanyakan, sebab ada juga orang-orang yang memilih hidup tidak kaya, terasing, enggan dikenal, dan sengsara.

Bukankah putra mahkota macam Ibrahim bin Adham yang memilih pergi dari kerajaan dan menjadi manusia biasa saja untuk menempuh jalan sufi dalam hal ini bisa dikategorikan memilih sengsara?

Tapi takdir itu punya genre, dan nyatanya ada yang suka dengan genre sengsara sebab alasan-alasan tertentu. Meski kebanyakan manusia lebih suka genre uang melimpah macam Elon Must, Joff Bezos, atau Bill Gates, wajah ngganteng macam Tom Cruise, Leonardo De Caprio, Xiao Zhan, Jungkook atau Kim Taehyung. Istri cantik macam Mbak Dian Sastrowardoyo, atau Maudy Ayunda. Genre ini memang banyak peminatnya.

Karena takdir menyediakan berbagai genre, tinggal kita mampu menikmatinya atau tidak. Yang pasti, Komposer sudah mengaransemen “lagu takdir” dengan sempurna, paling enak didengar, ada sistemnya, strukturnya, ritmenya. Fix, setiap lagu takdir adalah terbaik. Tidak ada yang perlu dicaci dan dicela, tidak ada yang harus dihina dan dielak.

Hidup berkelindan, kawan. Tapi keyakinan tetap harus konstan.

Ahmad Yusuf Tamami 
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra" fb  
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama