Rehat: Umur dengan Hasrat Menikah yang Tak Sudah-Sudah

PERCIK.ID- Umur 25 naik naganya adalah umur rawan bagi laki-laki normal untuk dapat pertanyaan macam-macam soal kapan naik pelaminan. Selain dari kiri-kanan, dari atas-bawah pun pertanyaan itu makin gencar dilempar. Dari teman dan kolega, dari Emak-Bapak dan Adik-Kakak. Apalagi kalau sudah lebih dekat ke umur 30.

Di umur itu, ungkapan "kapan rabi" tidak lagi berbentuk tanda tanya, malah jadi berlabel tanda seru. Tidak hanya sebagai pertanyaan, tapi malah jadi semacam ejekan.

Itu pula yang dialami Matt Russel, anak kampung Karangsewu. Keadaan berkecukupan, gagah nan ngganteng seolah dianugerahkan secara sia-sia ketika di umur ke 30an-nya belum sama sekali ada tanda-tanda akan rabi. Ucapan "santai dulu" yang diucapkannya sejak umur 26 sudah tidak lagi laku dan relevan. Umur 30 terlalu tua untuk berucap se slow itu. Bahkan ucapan macam itu malah jadi seolah alibi dan kebohongan atas ketidaklakuannya. Sebab bukan hanya tak ada tanda-tanda masa depan akan menikah, sejarah punya pacar pun ia tak punya.

Emaknya berulang kali bertanya, "Kenapa tidak segera menikah? Mau menikah kapan? Dah tua kok masih betah jomblo," dan lain semacamnya.

Sesungguhnya itu mengganggu telinga dan pikirannya. Matt pun sesungguhnya ya sadar bahwa ketidaksegeraan menikahnya jelas mengganggu pikiran emaknya. Omongan mengenai dirinya dari keluarga dan tetangga tidak hanya ia dengar sendiri, tapi juga didengar telinga emaknya.

Berulangkali kawan-kawan -selain mengejek- juga memotivasinya untuk segera menciptakan hasrat ingin menikah. Sebab omongan macam itu seperti sah ketika di umur menjelang 30 belum ada tanda apa-apa, seolah pilihan hidupnya adalah sendiri selamanya.

"Baiklah, aku ingin menikah!" ungkapnya yakin kepada teman-temannya.

"La gituuuu...apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya teman-temannya.

"Ya mencari perempuan yang bisa diajak nikah, toh!" jawab Matt dengan nada tinggi.

"La sesederhana itu jawabannya. Kenapa tidak dari duluuuu!" Teman-temannya menimpali dengan bersungut-sungut. Dari kelima teman sepercangkru'annya, hanya dia yang belum punya istri dan jelas belum punya anak.

Iktikad ingin rabi segera ia rengkuh dan tekadkan. Bulat dan tanpa ragu.

Ia sesungguhnya sudah punya pandangan perempuan yang ingin ia eksekusi. Umurnya masih muda, tapi sudah beranak dua.

Kabar baiknya ia sudah sendiri alias janda. Janda dari mantan suami yang seorang karyawan pabrik mie. Kabar baik yang lain, kalkulasinya masuk sekali melihat dirinya yang sudah berumur 30 untuk menikahi perempuan yang meski janda, tapi masih muda.

Pikirnya lagi, itu jauh lebih masuk akal dan mudah dinalar daripada harus menikahi perawan yang masih muda. Sebab ia pikir, mendapat muda nan perawan bukan perkara gampang. Setidaknya lebih tidak gampang daripada mendapatkan janda beranak dua. Begitu pikir Matt Russel.

Alasan itu ia kuat-kuatkan sebab ia sendiri sebenarnya sudah sreg luar biasa dengan perempuan itu ketika masih muda, ranum, nan perawan. Bahkan rasa sreg itu tidak baru tumbuh lagi ketika menjadi janda, tapi ketika jadi istri orang pun sesungguh-sungguhnya dia masih ada rasa-rasa.

Kabar buruknya, ia diincar oleh banyak duda dan laki-laki sulit rabi sepertinya. Maka harus ada perjuangan dan kompetisi yang tidak bisa ia hindari. Dengan begitu, ia kini berhadapan dengan dua hal. Hasrat menikah yang membuncah dan kompetisi memperebutkan janda secara serius.

Gerilya sudah mulai ia lakukan. Dengan cepat ia mendapat nomer wa nya. Dengan cepat pula ia kirim pesan basa-basi sebagaimana umumnya orang yang baru saja saling sapa dan saling kenal.

Sekian lama berinteraksi, pergerakan cepatnya tidak berjalan sia-sia. Ada respon baik dan tidak ada tanda-tanda penolakan yang frontal. Segala pertanyaan ditanggapi tidak hanya dengan "iya" dan "tidak" sebagai tanda wegah terus dihubungi. Janda beranak dua itu menjawab dengan responsif dan kooperatif. Keadaan itu jelas membuncahkan rasa bahagia Matt Russel.

Karena sudah merasa sreg dan naganya janda itu juga tak menolak, ia pun segera mengutarakan perasaannya dan ingin mengajaknya menikah sesegera mungkin.

Tapi jawaban perempuan itu membuatnya kecewa dan akan lebih memilih urung mengatakan andai tahu jawabannya.

"Maaf, Mas. Tapi aku sudah dilamar orang desa sebelah. Duda anak tiga yang sudah lebih siap segala-galanya dari kamu," kata janda itu pedas.

Pyaar....perasaannya berantakan. Harapan besar yang membumbung tinggi tiba-tiba dibanting dengan keras. Bak piring, hatinya hancur berkeping-keping. Jawabannya tidak hanya menolak, tapi juga sungguh merendahkannya.

Maka bukan patah hati dan meratapi yang ia lakukan. Ia menyala-nyala dan segera mencari target yang lain.

Ia katakan pada teman-temannya,

"Ayo, cari janda yang lain. Biar dia ndak besar hati dan besar kepala. Aku buktikan, dia bukan janda terbaik."

Tak surut hasrat menikahnya. Bahkan makin membuncah dan seperti tak sudah-sudah.

2 tahun kemudian, ia masih sendiri.

Ahmad Yusuf Tamami 
"Penulis Rubrik Suluh Majalah MAYAra" fb  
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya

1 تعليقات

أحدث أقدم