Spontanitas, Uhuy!

PERCIK.ID- Bapak-bapak bersepakat untuk berkumpul di rumah salah seorang warga perumahan yang entah ditunjuk oleh siapa  dengan membawa agenda: berapa lumrahnya iuran kebersihan dan kemanan musti dibayarkan kepada pengembang perumahan? Sementara baru akhir bulan kemarin sampah-sampah mulai diambil, kenapa musti sebulan penuh kita membayarnya? Masih banyak juga sisa-sisa sampah pembangunan yang tidak dibersihkan yang oleh angin pesisir diterbangkan memasuki celah-celah pintu dan jendela.

Bagaimana pula mekanisme keamanan, jika beberapa tong sampah milik warga hilang begitu saja tanpa ada tanggungjawab dari pihak pengembang? Juga siapa saja masih bebas keluar masuk lingkungan perumahan tanpa ada proses screening yang ketat, termasuk puluhan tukang-tukang yang tak lepas dari nyono olo para warga atas kehilangan yang mereka alami. Pada situasi seperti itu, layakkah iuran kebersihan dan keamanan dibayarkan? 

Kita memulainya dengan perkenalan sekaligus usulan. Setelah banyak pendapat dilempar dan ditangkap. Disepakati bahwa iuran jangan dulu dibayarkan sampai situasi dan kondisi relevan untuk itu. Ditunjuk seorang perwakilan untuk menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai itu kepada pengembang. Sampai sebulan kemudian, tidak ada perubahan apa-apa. 

Justru, ibu-ibu yang berhimpun di grup WA bentukan nyonya yang bisa menurunkan jumlah nominal iuran, tanpa perlu meluangkan waktu untuk bertemu. Grup WA sudah lebih dari cukup menyalurkan untuk kritik-kritik tajam—sekaligus pedas—dari mereka kepada pengembang untuk menuruti apa mau mereka. Pada konteks tertentu, ibu-ibu memang mempunyai power yang tak lelaki miliki. 

Ketika bapak-bapak membutuhkan pertemuan dengan diskusi panjang untuk mengadakan suatu acara, ibu-ibu cukup bergunjing di grub WA, sekejab kemudian tanggal lekas ditentukan dan disekapati. 

Di mana lokasi acaranya, masakan apa yang musti dihidangkan, siapa yang memasaknya, siapa yang menyediakan piring sendoknya, siapa yang musti jadi MC-nya, siapa yang memimpin pembacaan dziba’nya. Singkat cerita acara Maulid Nabi tergelar dengan lancar ditambah kesepakan untuk mengadakan arisan setiap bulannya. 

Saya melihat bahwa perempuan jiwanya dipenuhi dengan spontanitas. Tidak selalu segala sesuatu musti dipersiapkan matang-matang dengan menimbang segala kemungkinan dan resikonya. Itulah mengapa ketika di dapur cuma tersedia nasi sisa kemarin, cukup sudah bagi istri menyulapnya jadi makanan yang bakal tandas saya habiskan. 

Spontanitas semacam itu biasanya juga dimiliki oleh anak-anak kecil. Pada waktu kecil dulu, kita cukup janjian bertemu tanpa membawa rencana akan mengerjakan apa. Main sepakbola, ayo. Berenang di kali, apalagi! Batang pisang jadi perahu, batang bambu jadi pistol dan buah-buahan liar jadi peluru. Segala sesuatu kita respon dengan spontan. Kita bermain-main. Kita mudah bahagia. Tidak seperti orang dewasa yang segala sesuatunya dipikir serius dan ndakik. Kalau begini nanti bagaimana, kalau seperti ini, bakal jadi apa, apa gunanya melakukan ini, apa gunanya melakukan itu? Bagi orang dewasa segala sesuatu harus ada gunanya. Itulah mengapa, orang dewasa seringkali menjengkelkan bagi anak-anak yang ingin bermain ya bermain saja, kenapa harus ada gunanya? Sebaliknya, anak-anak kadang juga menjadi menyebalkan bagi orang dewasa. 

Ketika kita menua dan menjadi dewasa, spontanitas yang sebelumnya pernah kita miliki jadi tumpul. Kita jadi overthinking bahkan ketika semestinya tak perlu khawatir dan memikirkan apa-apa. Kapankah terakhir kali Anda menikmati waktu di mana Anda sepenuhnya berada di waktu tersebut? Bukankah Anda telah pulang dari kantor, ditemani istri dan anak tetapi pikiran Anda masih tertinggal di kantor atau bahkan telah melancong pada rencana esok hari yang telah Anda susun? 

Menua dan menjadi dewasa memang memberikan banyak hal berarti, tetapi juga merampas sesuatu yang penting. Spontanitas atau kepekaan musti diasah agar tak tumpul, sehingga kita mudah berbahagia dengan apa yang ada. Menikmati yang sekarang. Tidak merisaukan hari esok, tidak menyesalkan masa lalu. “Suka duka kita tidak istimewa” Kata Rendra, “Karena setiap orang mengalaminya.” Freelence Writer & Pedagang Buku "Makaru Makara"      

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama