Istidroj 2

Tulisan Sebelumnya: Istidroj

PERCIK.ID- Mungkinkah berbagai nikmat yang dinikmati seorang muslim yang patuh merupakan buah dari istidrôj?

Mungkin saja. Namun kapan nikmat tersebut merupakan anugerah sekaligus peluhuran dariNYA dan kapan merupakan siksa sekaligus  istidrôjNYA?. Rosululloh  saw. menjawab masalah ini tatkala bersabda,

“Tatkala kamu melihat Alloh memberikan kepada seorang hamba nikmat duniawi yang ia cintai lalu ia tetap berbuat maksiat maka itu merupakan istidrôj.”[1]  

Jadi, seorang muslim layak mengaca diri dan berintrospeksi agar mengetahui penyebab nikmat yang ia terima, apakah anugerah dan peluhuranNYA ataukah siksa dan istidrôj dariNYA. 

Tetapi biasanya orang mukmin -yang mengerti tentang hak-hak Alloh dan kedlo’ifan dirinya- tidak berani memastikan bahwa berbagai nikmat, kemudahan hidup dan sebab-sebab kemewahan yang ia terima merupakan pertanda cinta dan peluhuranNYA,  bukan istidrôj dan awal dari sebuah fitnah. Justru seiring bertambahnya pengetahuan, kedekatan dan pengagungan seorang mukmin terhadapNYA bertambah pula pengetahuan dan rasa malunya karena merasa masih sering berbuat ceroboh dan belum memenuhi hak-hakNYA. Jadi tentu saja tidak akan merasa bahwa ia telah menunaikan hak-hakNYA atas dirinya lalu  menyimpulkan bahwa setiap nikmat yang ia terima merupakan balasan atas kedekatpatuhannya. 

Seandainya terdapat orang yang mengetahui-yakini posisi ini, tentu ia adalah Umar bin Khoththob r.hu. Beliaulah yang menangis tatkala harta rampasan perang Qodisiyah dihaturkan kepada beliau, karena khawatir bahwa kemenangan yang mendatangkan harta rampasan perang tersebut merupakan istidrôj dariNYA kepada beliau. Beliau menangis seraya berkata, 

“Ya Alloh, ENGKAU Mahatahu bahwa Nabi Muhammad saw. lebih baik daripada saya, namun ENGKAU tidak mengaruniakan semua ini kepada beliau, ENGKAU juga mengetahui bahwa Amîrul-mukminîn Abu Bakar r.hu lebih baik daripada saya, namun ENGKAU tidak mengaruniakan semua ini kepadanya. Karena itu saya berlindung kepadaMU dari ENGKAU jadikan semua ini sebagai  fitnah bagi  laku agama saya.”  

Salah satu faktor yang membedakan antara peluhurann dan istidrôj ialah kondisi penerima anugerah dan nikmat. Apabila ia menerimanya disertai rasa syukur dan rasa senang kepadaNYA niscaya kondisi ini merupakan pertanda bahwa semua anugerah dan nikmat tersebut merupakan surat cinta dan peluhuran dariNYA. Sebaliknya, apabila ia menerimanya dengan sibuk mengurusnya hingga lupa dan terhalangi dari mengingat Sang Pemberi anugerah lalu memergunakannya di jalan yang tidak DIA ridloi maka ini merupakan bukti bahwa anugerah tersebut merupakan istidrôjNYA agar ia semakin lupa dan tenggelam dalam berbagai perkara yang menyebabkannya terlena dan lalai dari mengingatNYA. Juga merupakan siksa yang disegerakan di dunia sekaligus ujian bagi orang yang DIA murkai agar semakin berpaling dari segala ajakan dan peringatan untuk mengingat, memuji dan bersyukur kepadaNYA. Mahabenar DIA yang berfirman,  

-“Dan barangsiapa berpaling dari mendzikirKU maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit" QS. Thôhâ [20]: 124. 

-“Dan janganlah ENGKAU mengikuti orang yang .hatinya telah KAMI lalaikan dari mengingat KAMI, memerturutkan keinginannya dan kurusannya sudah melewati batas.”  QS. Al-Kahfi [18]:28.

Dari penjelasan pada bagian pertama dan kedua di atas diketahui bahwa yang sedang terjadi di masyarakat barat sekarang ini ialah;

1.    Alloh mewujudkan buah dari jerih payah mereka di dunia ini.

2.    Alloh mencintai dan mengganjar keadilan interaksi sosial mereka.

3. Alloh memberikan tambahan nikmat dan kemewahan hidup sebagai istidrôj; juga tambahan beragam sebab adzab yang ditangguhkan atas kekufuran dan ketidak-pedulian mereka terhadap seruanNYA.

Ketiga hal tersebut dapat dibaca secara jelas nan nyata dalam penjelasanNYA yang kesemuanya terpusat pada  gelontoran beragam nikmat, faktor rasa aman dan nyamannya kehidupan. Jerih payah yang telah mereka kerahkan karena rasa cinta terhadap dunia, keadilan yang diterapkan pada berbagai transaksi dan interaksi antar mereka dan ketetapanNYA memberikan tambahan berbagai nikmat sebagai istidrôj yang membuat lupa diri dan terlena; semua itu menandaskan bahwa mereka diberi kebebasan menikmati berbagai tambahan aspek rasa aman dan kemudahan karena berbagai sebab yang terhimpun pada satu kesimpulan yang bernama istidrôj.

Jadi, jika dikatakan bahwa masyarakat tersebut sesuai dengan ketentuanNYA, “Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepadaKU (urusan) orang-orang yang mendustakan perkata-an ini (Al Qur'an). KAMI akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (menuju binasa) dari arah yang tidak mereka ketahui.” QS. Al-Qolam (68): 44;  maka jangan disangka bertentangan dengan statemen bahwa keadilanNYA menetapkan akan memberi balasan atas jerih-payah mereka atau bertentangan dengan balasan duniawi yang DIA segerakan karena keadilan bahkan kasih-sayang antar mereka, meski mereka adalah orang-orang kafir yang ingkar. Jadi masing-masing sunnah robbaniyah atas para hambaNYA ini memunyai aturan dan sebab tersendiri. Bahwa beragam keberuntungan yang mereka petik sebagai hasil jerih-payah ilmiyah, industri dan inovasi berbeda dengan beragam balasan atas usaha memelihara kasih-sayang insaniyah yang mereka terapkan dalam bentuk undangundang interaksi sosial. Lalu keduanya berbeda dengan tambahan berbagai kesenangan, pemberian dan aspek-aspek kemewahan yang pintu-pintunya dibiarkan terbuka lebar di hadapan mereka sebagai istidrôj menuju semakin bertambahnya kesewenang-wenangan dan mabuk kepayang sebagai adzab yang disegerakan karena mereka berpaling dari penjelasan dan peringatanNYA. 

Wallohu A’lam.



[1] Hr. Ahmad, Thobroni dan Baihaqi dalam “Syu’abul-Ȋmân” dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.hu. 

Yai Mahsun Maftuhin
Pengasuh Pondok Pesantren al-Ibadah, Kedungjambe, Singgahan, Tuban

Baca Juga:


إرسال تعليق

أحدث أقدم