"Dan janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan, dan
hati nurani, semua itu diminta pertanggungjawaban"
PERCIK.ID- Di LPBA (Lembaga Pengajaran
Bahasa Arab) Sunan Ampel, ada salah satu dosen yang
terkenal sangat menekankan disiplin tinggi. “Telat satu menit, jangan ikut
kelas saya.” Itu menjadi ungkapan yang senantiasa terngiang dan berusaha benar
untuk dihindari semua mahasiswa. Soal pelajaran, beliau juga sosok yang
berharap segalanya perfect. Prinsip itu yang tak heran membuat beliau
mengajar dengan sangat runut dan jelas.
Suatu ketika, pernah terjadi “insiden” anak satu kelas tidak ada yang benar satupun dari ujian yang diberikan pasca beliau menjelaskan tentang hitungan jam dalam bahasa arab. Satu kelas kena marah. Bagaimana mungkin satu kelas tidak ada yang benar satupun!
Beliau menjelaskan ulang, dan ketika dicek catatan
pelajaran yang dijelaskan sebelumnya, catatan tersebut tidak sama dengan
penjelasan terbaru dosen tersebut. Karena merasa janggal, ada salah satu
mahasiswa yang mencoba menegosiasi bahwa penjelasan hari ini berbeda dengan
kemarin. Ada yang terbalik. Dosen itupun mengecek. Dan memang berbeda.
“Ini pasti kamu yang salah tulis. Tidak mungkin saya
menjelaskan seperti apa yang kamu catat ini”.
Setelah ungkapan itu, tidak ada yang berani mengajukan
catatannya lagi. Fix, satu kelas salah catat semua.
Sampai esok harinya, di jam pelajaran dosen tersebut,
beliau membuka dengan sungguh menakjubkan. Pasca salam, beliau meminta maaf
dengan mahasiswa satu kelas.
“Tadi malam saya merenungkan apa yang saya katakan siang
kemarin. Saya merasa tidak akan membuat kesalahan penjelasan sefatal itu dan
merasa tidak mungkin salah. Saya renungi benar. Sampai pada kesimpulan bahwa
sangat mungkin, pelajaran panjang lebar itu saya jelaskan dengan salah. Saya
manusia, dan sangat mungkin salah. Saya minta maaf kepada kalian semua karena
kesombongan saya kemarin. Sekali lagi, saya minta maaf”
Mak deg! Ungkapan
semacam itu sungguh heroik dan sangat bijak. Basic beliau memang salah satu
lulusan terbaik di al-Azhar pada jamannya. Dan ketika itu posisinya adalah
seorang dosen senior. Beliau tak sungkan untuk merevisi ucapannya yang bisa
saja beliau biarkan begitu saja. Toh beliau telah menjelaskan ulang.
Tanpa jiwa yang besar, hal tersebut tidak mungkin
dilakukan di depan kami yang sama sekali bukan apa-apa. Saya ingat benar
kejadian tersebut sebagai pembelajaran jiwa besar mengakui sebuah kesalahan dan
meminta maaf sebagai bagian dari haqqul adami. Sungguh sebuah
teladan yang baik.
Lepas dari heroisme tersebut, lain hal yang patut
dijadikan pelajaran adalah soal kesalahan beliau menjelaskan. Betapa orang yang
telah pakar semacam beliau pun tidak menutup kemungkinan membuat sebuah
kesalahan fatal dalam penjelasan kelas imdad (kelas
persiapan). Untuk dosen sekelas beliau, tentulah imdad jelas-jelas dasar
sekali. Memang kemungkinan salahnya jelas kecil sekali. Tapi nyatanya itu
terjadi.
Betapa manusia sungguh punya kelemahan yang nyata dalam
kesadaran melakukan sesuatu. Termasuk kemudian dibuntuti dengan kesalahan
berikutnya, yaitu menyalahkan orang lain, yang tentu saja disertai dengan
membenarkan diri sendiri.
Betapa kejadian semacam ini sering sekali terjadi.
Menuduh sebelum mengonfirmasi dan menegosiasi. Keyakinan akan apa yang
dirasakan dan dilihat sebagai kebenaran tertinggi yang tidak bisa tersaingi.
Dan memang, justifikasi semacam itu jauh lebih mudah daripada harus
membicarakannya terlebih dahulu. Sikat saja, toh tak akan berani membantah!
Atas nama kebenaran, jelas itu bukan sesuatu yang elok.
Meski sekali lagi, hal tersebut jelas jauh lebih mudah dan “nikmat” dilakukan.
Alangkah indah jika dikonfirmasikan terlebih dahulu. Beri
hak jawab sebelum menuduhkan sesuatu. Njagani kelemahan diri
atas kemungkinan ketidakbenaran yang kita sandang.
Justifikasi semacam “Kamu itu kok tidak pernah akur
dengan saudaramu” misalnya.
Ungkapan tersebut keluar berdasar pernah melihat satu-dua
kali cek-cok yang terjadi, tanpa melihat betapa harmonisnya hubungan selain dua
kali cek cok yang disaksikan.
Ungkapan menuduh dan memastikan kebenaran yang diucapkan
semacam itu barangkali tidak berdampak secara langsung bagi keharmonisan pasca
ungkapan itu diujarkan, tentu saja selain terbangunnya opini jika ada orang
yang mendengar ungkapannya.
Tapi jelas itu berdampak pada orang yang mengungkapkan
karena berkaitan dengan haqqul adami. Tanpa meminta maaf, itu bisa
jadi lanjrat di akhirot.
Respon atas ungkapan itu tentu beragam. Ada yang dengan
tegas menolak, ada yang mendiamkan. Soal ini, mendiamkan jauh lebih berbahaya
bagi orang yang mengungkapkan. Karena malaikat berbondong-bondong datang
menaunginya. Yang tentunya itu menjadi tanda kebaikan berpihak pada orang yang
dituduh buruk tersebut. Hal ini pernah terjadi di jaman Nabi.
Suatu hari, Kanjeng Nabi saw. sedang asyik berbincang bersama sahabat, yang sekaligus mertua beliau, yakni Abu Bakar ash-Shiddiq.
Mendadak datang seorang arob badui menemui sahabat Abu
Bakar, seraya marah dan memaki-makinya. Makian, cacian, dan kata-kata kotor
keluar dari mulut si badui pengung itu. Namun, Abu Bakar tidak menghiraukannya.
Ia terus melanjutkan perbincangannya bersama Kanjeng Nabi saw.
Melihat kejadian tersebut, Kanjeng Nabi tersenyum.
Sebaliknya, si arob badui tambah menjadi-jadi marahnya. Kesekian kalinya, si
badui menghina Abu Bakar dengan makian yang lebih menyakitkan dari sebelumnya.
Sebagai manusia biasa, akhirnya, dibalaslah makian si
badui tersebut dengan makian pula. Sekatika terjadi perang mulut pada keduanya.
Seketika itu juga, Kanjeng Nabi saw. beranjak dari tempat
duduknya. Beliau meninggalkan sahabat yang mertuanya itu, tanpa mengucapkan
salam tanpa pamit.
Melihat hal kejadian ganjil tersebut. Sahabat Abu Bakar
tersentak menjadi bingung seketika. Dikejarnya Kanjeng Nabi yang sudah berjalan
menjauh darinya. Seraya berteriak Abu Bakar bertanya,
"Wahai Rosululloh, janganlah engkau biarkan diriku
dalam kebingungan yang sangat dalam. Jika saya berbuat salah, tolong jelaskan
kesalahanku”.
Kanjeng Nabi saw. menjawab, "Sewaktu ada orang badui
datang membawa kemarahan. Memfitnahmu lalu mencelamu, aku lihat engkau tenang,
diam, dan tidak membalas. Aku bangga melihat engkau orang yang kuat menghadapi
tantangan, menghadapi fitnah, kuat menghadapi cacian.
Lalu, aku tersenyum karena ribuan malaikat turun di
sekelilingmu memohonkan rohmat untuk, juga memohonkan ampun untukmu di sisi
Alloh.
Begitu yang kedua kali sewaktu ia mencela lalu
memfitnahmu dan engkau tetap membiarkannya, maka para malaikat semakin
bertambah banyak jumlahnya, oleh sebab itu, aku tersenyum”.
Namun, sewaktu ketiga kali ia mencelamu dan engkau
menanggapinya, dan engkau membalasnya, maka seluruh malaikat pergi
meninggalkanmu. Hadirlah iblis di sisimu. Karenanya, aku tidak ingin berdekatan
dengan kamu. Aku tidak ingin berdekatan dengan iblis, dan aku pun enggan
memberi salam kepada iblis”.
Setelah itu menangislah Abu Bakar.
(Cerita lengkap soal ini bisa dibaca di bab "Tips
Menolak Iblis" di buku "Gondelan Sarung, Ngintil Yai" yang
ditulis oleh Abuya Miftahul Luthfi Muhammad)
Menjadi korban ujaran tak berdasar, kita jelas berusaha
menjadi sosok yang bersikap seperti Abu Bakar. Dan tentu saja kita jelas tidak
ingin menjadi orang yang asal bicara tanpa dasar, atau hanya berdasar
penghilatan sekilas yang punya kemungkinan besar salah.
Tidak ada kebaikan bagi orang yang ngawur dalam bertutur.
Dan sebaliknya, berbagai kebaikan menyelimuti orang-orang yang menekan diri dan
berusaha berujar dengan benar.