PERCIK.ID- Buat saya, dan mungkin
kebanyakan kita, Idul Fitri hampir selalu menjadi moment sentimentil. Semenjak
suasana-suasana akhir Ramadhan, nuansa kantor menjelang libur, ribet-ribet
mudik, sampai detail uba rampe hari-H: baju baru, opor ayam, lontong kupat, krecek
sambel kentang, dan semacamnya.
Semuanya menghadirkan
dan melibatkan perasaan-perasaan yang membuncah, melebihi sekedar seremonial
atau kegiatan formalitas belaka. Jadi, bahagia yang terasa dalam hati, ya, itu
bahagia yang mekar sungguhan, bukan pura-pura bahagia.
Meskipun, dalam satu dua
sesi sesrawungan Idul Fitri, memang boleh jadi kita butuh basa-basi
sebagai senjata jitu yang membantu mengakrabkan kembali kecanggungan hubungan
saudara yang jarang bertemu. Tapi toh, itu bukan soal penting, yang utama tetap
saja, semua bahagia.
Tentu kita perlu ingat
satu dua pihak yang, dalam nuansa bahagia Idul Fitri, mungkin merasa terpojok
dengan berbagai persoalan sosialnya, seperti urusan jodoh, karir, atau
keturunan. Pasti ada saudara-saudara kita yang teralienasi kegembiraannya,
meskipun populasinya jelas tak sebanyak mereka yang bungah hati dan jiwanya.
Kebahagiaan bertemu Idul
Fitri ini sebenarnya tak hanya perkara materi atau jasmaniah seperti misalnya
berkumpulnya kita dengan keluarga. Atau karena bebas makan minum sebisanya
dengan menu-menu super istimewa.
Juga bahkan mungkin, tak
juga soal nafsaniah atau psikologis semacam kelegaan saling memaafkan antara
kita dengan yang lain.
Idul Fitri menjadi Hari
Raya sebab memang di dalamnya terwujud bahagia yang mencapai puncaknya: dengan
mewadahi hasrat kembali yang paling hakiki, yaitu kembali pada Tuhan. Pada
pencapaian ruhaniah demikian, tak perlu disangkal lagi, bahagia akan mencapai ultimate-nya.
‘Id sendiri memang berasal dari kata awdah, atau
adat, yang berarti akan berulang. Sedangkan Fitri, seperti kebanyakan pemahaman
kita, berarti kembali pada kesucian asal. Sehingga bisa juga berarti yang
sewajarnya terjadi, seperti halnya makan, minum, tidur, dan segala macam
kebutuhan yang menjadi normalnya perangkat hidup manusia. Itulah kenapa kita
menyebutnya dengan fitrah.
Dengan Idul Fitri yang
mengakomodir kebutuhan kita untuk kembali kepada Alloh, maka itulah pengalaman
ruhani yang sejatinya memang fitrah pada setiap manusia. Seperti halnya makan,
minum, dan segala kebutuhan yang wajar ada pada setiap insan, maka demikian
halnya dengan kebutuhan bertuhan.
Telah terbukti kita
rasakan, materi terlalu remeh untuk mengkhatamkan bahagia dalam jiwa. Juga
seringkali peribadatan yang terlampau rutin, jatuh pada jurang kealpaan yang
tidak mengantarkan pada tujuan.
Sehingga pada titik
tertentu, kebutuhan kembali pada Tuhan sebagai sebentuk hasrat mendasar
manusia, haruslah didapat dengan kesadaran ekstra. Barangkali, pada tahun
inilah Alloh menghendaki kita untuk mengarungi kesadaran mendasar
tersebut, menyelami lebih dalam lagi samudera ruhani hingga benar-benar
menjumpaiNYA.
Untuk sampai pada
tataran itu, mau tak mau, kita harus melepas hingar bingar Idul Fitri yang
boleh jadi sudah terlampau mewujud materi-materi dan seremonial belaka.