Istiqomah ke Pasar

PERCIK.ID- Sejak bulan Syawal, saya harus pindah domisili karena tugas dari pemerintah. Tidak jauh, hanya 10 km dari domisili saya sebelumnya. Kali ini, rumah yang saya tinggali adalah rumah dinas yang sekelilingnya berpagar tembok tinggi dengan sebuah gerbang ala gerbang gudang. Rumah dinas ini mungkin rumah dengan tipe 36 ala perumahan. Sebuah rumah sendiri yang sekelilingnya adalah kebun. Benar-benar in the middle of nowhere!

Kalau dulu, saya berjamaah ke masjid tinggal berjalan kaki karena jaraknya tidak lebih dari 100 meter, sekarang untuk solat berjamaah harus mengendarai sepeda motor ke masjid yang berdekatan dengan pasar karena jaraknya setelah saya hitung di speedometer motor hampir satu kilometer.

Selama ini, setiap Subuh saya mencermati ada seorang nenek yang setiap saya pulang subuhan hendak membuka gerbang, beliau hampir selalu ada di jarak kira-kira 10 meter sebelah kanan gerbang saya. Sesubuh itu beliau mengenakan masker medis, walaupun terlihat terpasang sekenanya. Beliau berjalan kaki, memegang tas keranjang tidak terlalu besar sambil terbungkuk dengan nafas yang tidak terengah-engah.

Sampai satu waktu saya penasaran dan saya temui simbah putri yang setiap subuh melewati rumah dinas saya dengan berjalan kaki. Saya dekati dan ajak basa-basi apa kesibukan nenek ini. Rupanya beliau dari desa sebelah yang jaraknya 1 kilometer dari rumah dinas saya, setiap hari ke pasar selepas solat Subuh untuk berjualan telur. Telur bebek dan ayam kampung hasil ternak rumahan beliau sendiri.

Kalau rizki beliau hari itu besar, maka seluruh ayam dan bebeknya bertelur semua: 11 telur ayam dan 7 telur bebek. Akan tetapi, biasanya beliau membawa tidak lebih dari 10 butir telur setiap harinya. Masing-masing telur beliau jual dengan harga Rp. 2.000. Ketika saya tanya, “Apa selalu laku Mbah?”

“Alhamdulillah, jam 7 pagi Mbah sudah perjalanan pulang dari pasar, Cong,” jawab beliau.

Saya terdiam, jika 10 butir laku semua, beliau mendapatkan uang Rp 20.000 kenapa harus berjalan sejauh 2 kilometer untuk uang segitu, kenapa tidak dijual di sekitar rumah beliau saja?

Jarak 4 kilometer pulang-pergi dengan uang maksimal Rp. 20.000 itu artinya sangat besar bagi mbah ini. Akan tetapi, sungguh yang saya salut dari mbah berusia 70-an ini adalah semangatnya.

“Mumpung masih bisa jalan, Nak. Di pasar ketemu wajah banyak orang, itu yang membuat Mbah senang. Katanya kalau senang kita sehat. Kalau sehat insya Alloh kan panjang berkah umur kita.”

Maka rejeki itu betul sawang sinawang kata orang Jawa, yang banyak belum tentu tentram, yang sedikit belum tentu menderita. Seperti pagi ini, ingin rasanya tiap hari memborong telur nenek ini agar beliau tidak perlu jauh-jauh menjualnya ke pasar. “Kalau sampeyan borong semua Nak, kasihan pelanggan Mbah di pasar,” begitu katanya.

Pandu T. Amukti
Santri yang nDokter Hewan. 

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama