Menyinergikan Intelektual dan Moral (?)

PERCIK.ID- Jauh sebelum abad industri memperkenalkan manusia sebagai makhluk yang dibekali pemikiran (yang seakan-akan) tidak terbatas, sehingga apa saja yang bisa dijangkau otaknya, dieksekusi sesuka hatinya, di tanah Arab, seorang lelaki bernama Muhammad telah melantangkan revolusi akhlak dan peradaban manusia yang hebat.

Tidak hanya diorasikan, Nabi sekaligus rasul terakhir itu juga memutakhirkannya melalui tindakan. Teladan akhlak itu terus ditelur dan wariskan pada para sahabat yang sezaman, tabi’in, tabi’ al tabi’in,  dan terus menjalar ke tubuh umat sampai hari ini.

Lelaki bernama Muhammad itu lantas lekat dengan gelar Insan al-Kamil (baca: Manusia Sempurna) karena aspek-aspek dalam dirinya yang berbeda dengan manusia pada umumnya.  Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi al Maliki dalam karyanya, menyebutkan aspek-aspek kesempurnaan yang dimiliki Nabi saw, di antaranya, sempurna akhlaknya, perangainya, intelektual dan kecakapan bicaranya.

Luasnya cakupan teladan yang dimiliki Kanjeng Nabi, membuat umatnya tidak bisa meneladaninya secara sempurna. Ada yang bisa meneladani akhlak dan moralitasnya, tapi tidak dengan kecakapan berbicara dan intelektualitasnya, pun, sebaliknya, dan seterusnya. Dan problem utamanya adalah ketika kubu yang mampu meneladani akhlak Nabi mencibir kubu yang diwarisi kecerdasan Nabi, atau sebaliknya.

Percuma pinter, kalo gapunya akhlak.”

Percuma berakhlak, kalo ketemu lawan jenis nunduk, keliatannya tawadhu’, tapi semua tindakannya buta akan ilmu 

***

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Kanjeng Syaikh Abdul Qodir al-Jilani ra ngendikan, “Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia”.

Maqolah ini sebetulnya tidak sedang mendiskreditkan orang yang berilmu, hanya memberikan sebuah himbauan sekaligus penegasan bahwa output dari ilmu adalah akhlak. Akhlak yang baik, yang mencerminkan sesuatu yang amat dimuliakan Alloh bernama ilmu itu sendiri.

Statement brutal yang disandarkan pada maqalah kanjeng syaikh dengan bunyi, “Tidak penting punya ilmu, yang penting akhlak” adalah statement yang paradoks dan ngawur total!

Bagaimana mungkin bisa tahu mana perilaku yang baik mana perilaku yang buruk jika tidak berilmu? Mana mungkin bisa mengerti mana yang harus disikapi dan mana yang tidak perlu disikapi jika tidak punya dasar, dimana semua dasar tersebut bermuara pada ilmu itu sendiri?

Memang, seperti yang ditulis Abu Bakr Syatho al Bakri dalam karyanya, “Kifayat al Atqiya wa Minhaj al Asiyya” dalam tubuh manusia, ada jenis akhlak yang terbentuk sejak ia lahir, ada juga jenis akhlak yang terbentuk melalui tempaan ilmu yang diperolehnya, dipelajari dan diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari”

Statement ini juga kadang disalahpahami, menurutnya akhlak yang baik itu pilihan, jadi berilmu tapi imoral itu percuma. Ya. Memang benar, Akhlak yang baik  adalah pilihan, tapi orang yang punya ilmu tapi belum bisa merefleksikan ilmunya ke dalam tindakan-tindakan baik juga tidak percuma.

Toh, tipikal pertama, orang yang baik sejak lahir yang disebutkan Abu Bakr Syatha, umumnya terbentuk karena ia berada di lingkungan yang baik. Ia melihat dan menyaksikan ucapan, lelaku dan tindakan yang baik-baik, sehingga membentuk karakter diri yang sama baik. Tidak murni dia punya inisiatif dan makcling jadi baik, semua itu dipelajari dengan kurikulum yang tidak tertulis atau dilisankan, tapi dituntun dan bimbingkan orang-orang sekitar.

Wa ba’du, moralitas yang baik itu penting. Berbekal intelektualitas yang baik juga tidak kalah penting. Memadukan keduanya malah lebih penting lagi. seperti yang disuarakan al Sya’roni dalam Mizan al Kubronya, bahwa semua tindak tanduk umat nabi Muhammad adalah berpayung uswah-teladannya, ilmu dan akhlak adalah aspek yang sama-sama penting. Dengan ilmu hidup bisa dijalankan dengan lebih mudah, dengan iman hidup jadi terarah. Dalam tubuh agama, ilmu dan akhlak yang tidak padu, membuat agama itu pincang dan saru. Wallohu a’lam

Lifa Ainur Rohmah
Mahasiswi STAI Al Fithrah. Santri Putri Ponpes Assalafi Al -Fithrah. Surabaya  fb          

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama